Berangkat dengan keadaan akomodasi
dan transportasi yang belum jelas. Membawa segudang semangat yang harus
disebarkan. Berbekal rencana perjalanan, persiapan, do'a teman-teman, dan
keyakinan akan dimudahkan.
Segala Puji bagi Tuhan segala
persiapan, kerja keras, waktu, tenaga, dan segala hal yang dikorbankan terbayar
lebih selama pelaksanaannya, walaupun harus menyaksikan bukti nyata tidak
meratanya pendidikan dan kesejahteraan di bangsa ini.
Kami mencoba membuka harapan
murid-murid SMA disana untuk berani menempuh pendidikan yang lebih tinggi untuk
kehidupan yg lebih layak, untuk mengabdi pada keluarga, masyarakat, dan tanah
air. Menegaskan pada mereka bahwa siapa saja memiliki hak yang sama untuk
pendidikan dan hidup yang lebih baik, bahwa segala permasalahan negeri ini
menjadi tanggung jawab kita dan mereka nantinya dan ilmulah yang harus menjadi
bekal utama yang harus dimiliki.
Antusiasme, semangat, mimpi,
cita-cita, dan harapan mereka adalah pengisi ulang semangat kami setiap harinya
dan merupakan oleh-oleh yang kami terima dan kami bawa untuk diceritakan pada
teman-teman, khususnya teman-teman yang sekarang memiliki kesempatan lebih
untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan harapan agar ilmu dan
kesempatan tersebut tidak disia-siakan, agar ilmu tersebut digunakan untuk
kebaikan masyarakat bangsa ini, agar ilmu tersebut tidak membuat kita semakin
angkuh dan memikirkan diri sendiri, melainkan semakin merasa bahwa ilmu
tersebut adalah amanah, adalah tanggung jawab kita untuk setidaknya memperbaiki
1 dari sekian banyak permasalahan di negeri ini.
Selamat berjuang para pejuang
pendidikan dimanapun dan kapanpun, selamat mengabdi untuk Tuhan dan bangsa ini.
Selamat membaca.
Salam,
Ismail
Faruqi, Isma Aini, Rifki Putra, dan Pebriani Artha
Tim Nosarara
Nosabatutu,
Ekspeditor
Sulawesi Aku Masuk ITB 2017
Dan kami pun berangkat..
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 Januari 2017
PALU
Inilah hari yang mengawali ekspedisi
kami berempat sebagai 1 tim, ekspedisi membawa sebuah misi ke salah satu daerah
3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal), yaitu Sulawesi Barat. Singkat cerita, tim
ini dipersatukan dengan tujuan dan niat yang sama, dipertemukan dalam sebuah
program Diseminasi Khusus Aku Masuk ITB 2017 (DK AMI 2017). Kami tidak menganal
satu sama lain pada awalnya, namun misi ini membuat kami berjuang bersama pada
akhirnya, dan semoga tidak pernah berakhir.
Diseminasi Khusus Aku Masuk ITB 2017
merupakan sebuah program yang bertujuan untuk menyebarkan dan membagikan
semangat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ke adik-adik SMA yang
berada di daerah 3T pada khususnya. Tahun ini merupakan tahun ke-3 program ini
dilaksanakan dalam rangkaian acara Aku Masuk ITB (AMI) yang mana tahun ini
memberangkatkan 3 tim ke 3 daerah yaitu tim Elang Borneo ke Kalimantan Barat,
Tim Reka Flores ke NTT, dan tim ini, Nosarara Nosabatutu ke Sulawesi Barat.
Nosarara Nosabatutu beranggotakan
Mail sebagai ketua tim, Isma, Pebi, dan Rifki, kemudian kami menyingkat nama tim
ini menjadi Nono agar mudah diingat dan disebutkan. Banyak hal yang kami lalui
sebelum akhirnya kami sampai di tanggal ini dan bersiap untuk berangkat. Banyak
hal yang kami persiapkan dan banyak kendala yang yang kami lewati hingga
sampailah hari ini.
Kami berangkat dalam keadaan
akomodasi dan transportasi yang belum jelas. Berangkat dengan membawa segudang
semangat yang siap disebarkan. Berangkat dengan berbekal rencana perjalanan,
persiapan, do’a dan dukungan
teman-teman, serta keyakinan akan dimudahkan.
Pesawat kami berangkat dari Bandara
Soekarno Hatta pukul 02.45 WIB dan tiba di Kota Palu, Sulawesi Tengah sekitar
pukul 05.30 WITA. Kedatangan kami disambut oleh Ary dan Arya, 2 mahasiswa ITB
yang sedang berada di Palu. Kami dijemput dan diajak berkeliling Palu di pagi
hari. Ary dan Arya menjalaskan banyak tentang Palu dan Sulawesi, mengajak kami
mencicipi makanan disana dan membawa kami ke tempat menarik di Palu. Untuk kami
semua yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Sulawesi, kondisi
geografisnya sangat unik dan indah. Di satu sisi kami melihat bentangan gunung
dan bukit dan disisi lainnya kami menyaksikan keindahan pantai dan pesisir,
membuat kami bingung ingin menikmati yang mana. Cuaca di Palu hari itu sangat
bersahabat, tidak sepanas biasanya katanya.
Kami diajak kesalah satu tempat
tertinggi yang ada di Palu, yaitu Tugu Perdamaian. Dari sana kami bisa
menikmati indahnya Kota Palu di pagi hari. Dekat dengan tugu kami melihat
sebuah tulisan “NOSARARA NOSABATUTU” dan kami tertarik mengetahui lebih lanjut
tentang itu. Ary dan Arya menjelaskan Nosarara Nosabatutu merupakan salah satu ungkapan
dalam Bahasa Kaili yang artinya bersaudara dan bersatu. Tanpa pikir panjang
lagi, kami sepekat menjadikan Nosarara Nosabatutu sebagai nama tim kami.
Tidak hanya tugu ini yang
meninggalkan kesan bagi kami, tapi kami juga meninggalkan sesuatu disana. Salah
satu anggota tim kami meninggalkan kacamata barunya disana tanpa sengaja. “Tak
apalah, hitung-hitung sebagai peninggal jejak kita pernah kesana (Tugu
Perdamaian)” katanya.
Kota Palu hanya persinggahan
sementara kami, dan kami harus segera menuju tempat berikutnya yang merupakan
tujuan pertama ekspedisi ini, yaitu Mamuju Tengah. Ary dan Arya membantu kami
mencari kendaraan yang bisa mengantar kami kesana. Orang-orang Sulawesi
menyebutnya Travel/Panther sebagai alat transportasi antarkota, walaupun mobillnya
tidak benar-benar Panther. Kami
mencari sana-sini transportasi yang cocok dengan budget yang kami sediakan, ternyata hal terebut cukup sulit karena
memang perjalanan ke Mamuju Tengah cukup jauh dan hampir tidak ada travel yang
mau mengantar kami karena merekaa belum tentu mendapat penumpang saat kembali
ke Palu. Kami disarankan untuk menyewa mobil dan supir saja tapi harga yang
ditawarkan jauh lebih mahal.
Cukup lama kami mendiskusikan
transportasi ini dan sudah hampir menyerah mencari yang murah. Tiba-tiba Arya
memberi kabar bahwa kami bisa ke Mamuju Tengah dengan mobilnya dan diantar oleh
pamannya. Syukur Alhamdulillah dan terimakasih sebesar-sebesarnya kami berikan
pada Ary dan Arya.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke
Kabupaten Mamuju Tengah…
MAMUJU TENGAH
Namanya Om Arfan. Om-nya Arya yang
dengan baik hati mengantarkan kami ke Mamuju Tengah. Om Arfan mengajak temannya
yang lain untuk menemani perjalanan ke Mamuju Tengah karena Om Arfan sendiri
kurang begitu hafal daerah sana. Teman Om Arfan ini adalah orang asli Tana
Toraja. Selama di perjalanan, selain kami banyak bertanya tentang daerah-daerah
tujuan kami, kami juga mendapat banyak cerita tentang Tana Toraja terutama
tentang adat dan upacara kematiannya yang terkenal itu.
Perjalanan ke Mamuju Tengah melewati
jalan Trans Sulawesi, jalan yang menghubungkan provinsi dan kota-kota di Pulau
Sulawesi. Perjalanan ke Mamuju Tengah normalnya memakan waktu 6.5 jam, namun
kami menghabiskan kurang lebih 9 jam karena kami beberapa kali berhenti sejenak
untuk istirahat, makan, dan sholat.
Kecamatan yang kami tuju adalah
Kecamatan Budong-Budong. Kecamatan ini berjarak 20km lebih dari pusat kota.
Hari yang sudah gelap membuat kami tidak dapat membaca tulisan alamat di
toko-toko pinggir jalan. Sinyal yang melemah dan sulitnya mengakses peta malam
itu melengkapi perjalanan kami malam itu. Berkali-kali kami turun untuk
bertanya dimana kecamatan Budong-Budong ini.
Mulailah muncul perasaan takut,
takut tersesat, takut ditipu orang disana, takut tidak sampai, dan takut-takut
lainnya. Kami juga merasa tidak enak dengan Om Arfan dan temannya malah jadi
direpotkan mencarikan alamat yang kami tuju.
Alamat yang kami tuju ini merupakan
alamat tempat tinggal kami yang merupakan tempat tinggal dari seorang Kakek
Bernama Daeng Situju. Beliau merupakan kakek dari Saiful, salah satu murid SMA
Negeri 3 Budong-Budong. SMAN 3 Budong-Budong merupakan salah satu sekolah
tujuan kami di Kabupaten Mamuju. Singkat cerita, kami berkenalan dengan Ipul di
salah satu facebook page kelas XII
IPS SMAN 3 Budong-Budong. Ipul merupakan admin dari page tersebut dan kami menceritakan maksud kedatangan kami kesana.
Kami menjelaskan kondisi kami yang tidak tahu-menahu tentang daeraah sana dan
Ipul menawarkan kami untuk menginap di rumah kakeknya. Ipul sendiri kebingungan
menjelaskan lokasi rumah kakeknya. Bermodal patokan dan informasi yang
diberikan warga setempat kurang lebih pukul 9 malam kami pun sampai di depan
rumah Ipul dan kakeknya.
Rumah ini berada di Desa Salugatta,
Kecamatan Budong-Budong. Suasana malam itu sudah sangat sepi dan gelap. Tidak
ada lampu jalan dan penerangan seadanya. Rumah-rumah disana masih banyak yang
berbentuk rumah panggung walaupun banyak
juga yang sudah beton. Rumah Ipul termasuk yang rumah panggung.
Kami disambut hangat oleh Ipul,
kakeknya Ipul, dan kebetulan saat itu ada keluarga Ipul yang lain juga. Kami
disuguhi teh hangat dan gorengan dan melepas lelah sejenak. Kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada Om Arfan dan temannya yang sudah mau mengantarkan
kami dengan susah payah dan sekaligus perpisahan karena Om Arfan dan temannya
harus bergegas pergi. Bayangkan, 9 jam perjalanan mengantar anak-anak ingusan
yang tidak beliau kenal dan langsung kembali lagi ke Palu malam itu juga.
Terimakasih Om Arfan.
Rumah Ipul tidak besar tidak juga
kecil, tapi sangat nyaman dan tertata rapi barang-barang didalamnya. Kami
berempat tidur di ruang depan yang merupakan ruang tamu rumah tersebut. Ada 2
kamar tidur, dapur, dan kamar mandi didalamnya. Kamar mandi berada di bawah
rumah panggung, airnya harus ditimba dari sumur, terbuka, dan tidak ada
penerangan. Mail dan Rifki mandi dan saling menyenteri. Kami merasa tidak ada
masalah dengan kondisi seperti itu. Diizinkan menginap saja sudah sangat
bersyukur. Tapi kami bahkan diberi makan dan diperlakukan dengan baik oleh
keluarganya Ipul. Saat Pebi dan Isma pergi ke kamar mandi beberapa jam setelah
mail dan Rifki, kakeknya Ipul sudah memasang lampu di kamar mandinya. Beliau
mengatakan “ini lampunya sudah bisa, biar gak gelap lagi.. santai saja disini”.
Alhamdulillah, benar-benar berhati baik keluarga ini.
Malam itu kami tidak bisa langsung
beristirahat karena harus melakukan briefing
untuk ekspedisi pertama kami keesokan harinya. Kami melakukan beberapa
perubahan urutan sekolah karena kendala jarak dan transportasi disana. Saat itu
kami bingung bagaimana menuju ke target sekolah yang jaraknya bisa lebih dari
10km dari tempat kami menginap. Masih dalam kebingungan dan kelelahan hari itu,
kami tertidur pulas dan berdoa untuk kelancaran kegiatan kami besoknya.
Kami mengamati bagaimana wajah-wajah
itu mulai berseri setiap kami menceritakan seluk beluk perkuliahan dan ilmu apa
saja yang bisa didapatkan. Beberapa dari mereka menceritakan kendala mereka,
beberapa menyampaikan niat tulus untuk mengabdi ke daerahnya. Kami berusaha
menjawab keingintahuan mereka sebaik yang kami bisa hari itu.
------sapi
5 Januari 2017
Sekolah tujuan kami yang pertama adalah SMA Negeri 3 Budong-Budong, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah. Sekolah tersebut merupakan sekolahnya Ipul, sehingga kami berangkat kesana bersama Ipul. Kami berangkat sekitar pukul 8 lewat dan sangat kaget ketika sampai disana sekolah benar-benar sepi. Kata Ipul sekolahnya memang seperti itu di minggu pertama karena masih belum ada kegiatan belajar mengajar. Beberapa kelas dan ruang guru masih terkunci, kami memutuskan untuk menunggu di lapangan dan mengamati sekeliling sambil menunggu. Sekitar pukul 9, Bapak Salim, kepala SMAN 3 Budong-Budong datang dan mempersilahkan kami masuk ruangannya. Kami berbincang mengenai kondisi pendidikan disana sekaligus untuk mempersiapkan materi apa saja yang akan kami sampaikan. Beliau mengatakan sekolah disana kekurangan sumber daya guru berkualitas, juga murid-murid yang tidak jelas mau kemana setelah lulus SMA.
Sekolah tujuan kami yang pertama adalah SMA Negeri 3 Budong-Budong, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah. Sekolah tersebut merupakan sekolahnya Ipul, sehingga kami berangkat kesana bersama Ipul. Kami berangkat sekitar pukul 8 lewat dan sangat kaget ketika sampai disana sekolah benar-benar sepi. Kata Ipul sekolahnya memang seperti itu di minggu pertama karena masih belum ada kegiatan belajar mengajar. Beberapa kelas dan ruang guru masih terkunci, kami memutuskan untuk menunggu di lapangan dan mengamati sekeliling sambil menunggu. Sekitar pukul 9, Bapak Salim, kepala SMAN 3 Budong-Budong datang dan mempersilahkan kami masuk ruangannya. Kami berbincang mengenai kondisi pendidikan disana sekaligus untuk mempersiapkan materi apa saja yang akan kami sampaikan. Beliau mengatakan sekolah disana kekurangan sumber daya guru berkualitas, juga murid-murid yang tidak jelas mau kemana setelah lulus SMA.
Setelah mendiskusikan ruangan dan
durasi penyampaian materi, kami pun diantar menuju ruangan besar seperti aula
dan mempersiapkan segala kebutuhan presentasi hari itu. Di ruang besar itu
semua murid kelas 12 dikumpulkan, baik IPA maupun IPS, beberapa terlihat antusias,
beberapa terlihat terpaksa karena diminta kepala sekolah, dan beberapa lagi
berhasil kabur.
“Pagi! Pagi! Pagi!” Kami pun membuka
acara hari itu. Alhamdulillah disambut dengan antusiasme murid-murid disana.
Kami tidak promosi tentang ITB disini, kami tidak juga menjual mimpi. Kami
hanya berusaha membuka pikiran dan memberikan semangat kepada murid-murid
disana betapa indahnya dunia dengan ilmu. Menceritakan pada mereka bahwa ilmu
dan cita-cita itu harus diperjuangkan, bahwa pendidikan yang layak adalah hak
bagi semua orang, bahwa mereka juga merupakan generasi yang akan menentukan
bangsa ini kedepannya, bahwa bangsa ini memerlukan penerus-penerus cerdas dan
mereka yang berada didaerah 3T bukanlah pengecualian.
Saat ditanya setelah SMA mau lanjut
kemana, boro-boro untuk berkuliah, mereka saja tidak tahu apa yang kan mereka
lakukan selanjutnya setelah lulus. Kami tidak memaksa mereka untuk memilih
kuliah sebagai jalan yang arus mereka ambil setelahnya, kami hanya menekankan
jangan pernah berhenti menuntut ilmu dan kuliah merupakan salah 1 medianya.
Murid-murid sangat antusias saat
kami memutarkan video tentang gambaran perkuliahan yang ternyata sangat berbeda
dengan SMA. Tetapi memang kendala untuk melanjutkan kuliah sangat banyak,
beberapa diantarnya masalah biaya, izin orangtua, kurangnya informasi, jarak,
dan lain-lain. Kami membawa beberapa informasi mengenai beasiswa dan jalur
masuk perguruan tinggi yang dapat mereka ikuti. Sangat miris dari mereka tidak
1 pun yang paham apa itu SNMPTN dan SBMPTN juga beasiswa BIDIKMISI dari
pemerintah. Kami berharap informasi yang kami sampaikan hari itu bisa membuka
jalan bagi mereka.
Presentasi di SMAN 3 Budong-Budong
berlangsung kurang lebih 1.5 jam, ditutup dengan video kisah inspiratif salah
satu putra daerah Sulawesi Tengah bernama Arif Mappe yang dengan perjuangannya
berhasil mewujudkan salah satu impiannya untuk berkuliah di ITB. Video itu
berhasil membuat seisi ruangan terpaku dan banyak dari mereka yang terpacu
untuk terus menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita mereka. Beberapa murid
ada yang saling berjanji kelingking, berjanji untuk terus belajar dan berjuang
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Momen yang sangat berharga bagi kami
melihat semangat yang terpancar dari wajah murid-murid saat itu. Ketika ditanya
siapa yang setelah lulus mau melanjutkan ke perguruan tinggi, dengan kompaknya
mereka mengangkat tangan dan berteriak “saya!”. Rasa haus, lelah, tegang, dan takut
kami pun hilang dengan sendirinya. Sangat
berharga.
Hari itu kami masih harus melakukan
presentasi ke SMAN 1 Budong-Budong. Namun kondisi saat itu sedang hujan lebat
berangin dan kami bingung bagaimana menuju kesana. Renacana awalnya kami akan
menggunakan motor warga untuk menuju ke SMAN 1 Budong-Budong yang berjarak
lebih dari 7 km dari SMAN 3 Budong-Budong. Beruntung kepala sekolah dengan baik hati menawarkan
tumpangan kesana menggunakan mobilnya dan menyampaikan ke kepala sekolah SMAN 1
kalau kami akan tiba sedikit terlambat.
Sesampainya di SMAN 1 Budong-Budong,
kami segera diarahkan ke ruangan besar yang sudah dipenuhi oleh murid kelas 12.
Di ruangan itu juga sudah tersedia makanan dan minuman jamuan. Saat itu hari
masih hujan dan mati listrik. Mau tidak mau kami menyampaikan materi tanpa
menggunakan presentasi yang telah disediakan. Kami cukup banyak bercerita hari
mengenai tokoh-tokoh Indonesia dan menjelaskan permasalahan yang dihadapi
negeri ini, membangun kesadaran mereka bahwa masalah-masalah terebut masih
harus diselesaikan. Beberapa saat kemudian listrik kembali menyala dan kami
bergegas menyiapkan perlengkapan presentasi kami. Siang itu rasanya lelah dan
suara sudah hampir habis karena kami harus berteriak saat menyampaikan materi di
ruangan sebesar itu. Namun lagi-lagi perasaan lelah itu terbayar dengan melihat
antusiasme dan semangat mereka. Rasanya kami tidak punya alasan lagi untuk
merasa lelah.
Selesai presentasi, kami menyantap
hidangan yang disajikan, mengucapkan terimakasih pada pihak sekolah yang telah
mengizinkan dan menyambut kami untuk sharing dengan murid-murid disana. Kami
sangat terkejut kepala sekolah SMAN 3 Budong-Budong menunggu kami sampai
selesai dan lagi-lagi menawarkan kami tumpangan untuk pulang. Tidak hanya diantar
pulang, kami juga ditraktir makan siang di salah satu rumah makan seafood di kecamatan Topoyo. Bapak Salim
Banyak bercerita tentang Kabupaten Mamuju Tengah khususnya tentang potensi
sawitnya, ya memang sepanjang perjalanan kami di Kabupaten tersebut sejauh mata
memandang sawit-sawit berdiri mengelilinginya. Singkat cerita 10 tahun yang
lalu beliau membeli lahan untuk ditanam sawit, setelah penantian bertahun-tahun
lahan sawitnya kini dapat memproduksi dan bahkan Pak Salim dapat menabung untuk
membeli mobil, memperbaiki rumah, dan menabung untuk anaknya berkuliah kelak.
Rifki yang sangat antusias mendengarkan cerita beliau seperinya tertarik untuk
berbisnis sawit disana.
Setelah makan kami tidak langsung
kembali ke rumah Ipul, Bapak Salim mengajak kami berkunjung ke rumahnya
terlebih dahulu dan lagi-lagi kami dijamu dengan hangat disana, melanjutkan
obrolan santai kami mengenai sawit dan Kabupaten Mamuju Tengah, ternyata ada
banyak hal menarik yang tidak kami tahu sama sekali.
Tak terasa hari sudah sore dan kami
harus segera kembali ke rumah Ipul karena kami sudah berjanji akan pulang
sebelum maghrib. Kami beres-beres dan melakukan briefing untuk keesokan harinya. Rencananya kami akan melakukan
sosialisasi ke SMAN 1 Topoyo dan SMAN 1 Tobadak yang berada di kecamatan
berbeda dari tempat tinggal kami. Malam itu kami masih belum tahu bagaimana
cara menuju ke 2 sekolah itu dan berencana menumpang warga yang ingin pergi ke
Mamuju atau kecamatan Topoyo. Sebelum mendapat kepastian transportasi untuk
keesokan harinya, kami berempat sudah tertidur pulas.
6 Januari 2017
Kami bangun dan pagi itu dikagetkan
oleh Ipul dan kakeknya yang ternyata mencarikan pinjaman motor untuk kami
menuju ke Kecamatan Topoyo dan Tobadak. Kami benar-benar berterimakasih pada
Tuhan dan kakeknya Ipul karena urusan kami dimudahkan. Kami selalu yakin bahwa
niat yang baik pasti akan dimudahkan oleh Allah. Insya Allah.
Hari itu adalah hari Jum’at, kami
memutuskan untuk membagi tugas. Pebi dan Rifki ke SMAN 1 Topoyo, Isma dan Mail
ke SMAN 1 Tobadak. Perjalanan menggunakan motor memang lebih cepat dan
menyenangkan karena bisa merasakan langsung keindahan alam disana, namun juga
mengerikan karena kami tidak memakai helm dan disana seringkali ada sapi yang
seenaknya menyebrang jalan.
Sampai di persimpangan Kecamatan
Topoyo, hari mendadak hujan lebat dan tidak bisa diterobos. Kami menepi dan
saling menghubungi satu sama lain. Biasanya kalau hujan akan dibarengi dengan
kendala lainnya yaitu mati listrik. Mail dan Isma masih harus menempuh kurang
lebih 30 km untuk tiba di kecamatan Tobadak, melewati kebun sawit sekali lagi
dan jalanan becek berbatu.
Di SMAN 1 Topoyo kami disambut baik
oleh guru-guru dan kepala sekolahnya. Beliau banyak bercerita tentang
lulusan-lususan sekolahnya yang sudah banyak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tidak heran karena SMAN 1 Topoyo bisa dibilang sebagai sekolah favorit di
Kabupaten Mamuju Tengah. Pebi dan Rifki diarahkan ke kelas yang besar dan memulai
presentasi kami dalam keadaan mati lampu. Murid-murid perempuan berjajar
didepan dan mereka terlihat sudah memiliki segudang pertanyaan dikepalanya.
Entah memang karena mereka punya banyak pertanyaan atau gara-gara Rifki yang
selalu berhasil menjadi pusat perhatian semua murid-murid perempuan. Karena
pengetahuan akan perguruan tinggi mereka sudah cukup baik, kami banyak
menceritakan tentang perguruan tinggi di Indonesia dan dunia perkuliahan.
Setelah presentasi berjalan kurang lebih 1 jam, listrik menyala. Kami di bantu
murid disana memasang proyektor dan menyiapkan perlengkapan lainnya untuk
memutar beberapa video mengenai gambaran perkuliahan dan tentu saja video Arif
Mappe yang selalu sukses menyihir seisi kelas. Kami keaasikan menjelaskan dan
tak terasa sudah jam set 12, kami harus segera mengakhiri presentasi karena
harus bersiap untuk sholat Jumat.
Pebi tinggal di kelas lebih lama
karena ada beberapa murid yang masih belum terjawab rasa ingin tahunya.
Kebanyakan dari mereka memiliki kendala tidak tahu mau melanjutkan kuliah
kemana dan ada jurusan apa saja. Sambil menunggu yang laki-laki sholat Jumat,
Pebi dan beberapa murid perempuan bercerita banyak sambil menyantap jagung
rebus yang hari itu terasa sangat enak.
Sementara di SMAN 1 Tobadak, Isma
dan Mail juga menikmati penjelasan mereka tanpa menggunakan presentasi yang
sudah dipersiapkan karena mati listrik sampai di akhir presentasi. Mail
menceritakan tentang kisah perjuangan salah seorang mahasiswa ITB untuk
berkuliah dan berhasil memotivasi murid-murid disana. Lebih banyak sharing dan sama saja dengan Pebi dan
Rifki, Mail dan Isma juga lupa waktu hingga menuju waktu sholat Jumat. Saat
Mail solat Jumat, Isma menunggu dengan menghabiskan waktunya berkeliling
menggunakan motor di sekitar daerah Tobadak, SMA 1 Tobadak diapit oleh 2 kebun
sawit sehingga berkeliling kanan kiripun hanya akan ada sawit yang dilihat.
Seusai Mail sholat Jumat, kami segera kembali ke rumah Ipul, namun Mail dan
Isma kembali mendapat cobaan lainnya yaitu ban bocor. Mau tidak mau kami harus
menunda keberangkatan kami ke kabupaten selanjutnya yang harusnya dijadwalkan
jam 14.00 WITA.
Beruntung Ipul mau membantu
menghubungi kendaraan yang akan mengantaran kami ke Kabupaten Mamuju. Sedih
rasanya harus berpisah dengan Ipul dan keluarganya yang memperlakukan kami
seperti keluarganya sendiri. Kami berusaha meninggalkan bahan makanan sebagai
ucapan terimakasih karena sudah memudahkan banyak kesulitan kami selama di
Mamuju Tengah.Tapi pemberian kami selalu diitolak seperti biasanya. Sebagai
gantinya kami akan selalu mendoakan keluarga ini agar dilancarkan segala
urusannya oleh Tuhan, semoga kebaikan-kebaikan itu akan dibalas lebih dan
berlipat.
Sekitar pukul 4, kami foto keluarga
kemudian pamit dan meminta do’a untuk perjalanan kami berikutnya ke ibukota
Sulawesi Barat, Kabupaten Mamuju.
MAMUJU
Kata orang-orang perjalanan ke Mamuju
memakan waktu rata-rata 4 jam. Entah karena mengejar penumpang atau memang style menyetir yang sudah “mahir”,
perjalanan kami dengan mobil Avanza hanya memakan waktu 2.5 jam sudah ditambah
dengan mencari alamat tujuan dan disertai dengan mual-mual para penumpang.
Sebenarnya saat berangkat dari
Mamuju Tengah kami masih belum menemukan tempat tinggal yang pasti di Mamuju.
Kami semua berusaha menghubungi kenalan –atau bahkan baru berkenalan via media
sosial – sepanjang perjalanan namun belum juga mendapatkan tumpangan untuk
tinggal. Sedikit lagi sampai di Kabupaten Mamuju, Mail memberitahu kalau
temannya ada yang bisa memberi tumpangan untuk tinggal. Alhamdulillah, kami
tidak jadi panik.
Mail mengarahkan supir ke alamat
yang diberikan. Tempat yang kami tuju ini merupakan sekre umum dari sebuah
komunitas di Mamuju. Sudah tidak ada waktu untuk pikir-pikir lagi, dapat
tumpangan saja sudah syukur. Kedatangan kami disambut oleh beberapa pemuda
pemilik sekre, mempersilahkan kami masuk dan meminta maaf untuk keadaan
sekrenya yang katanya berantakan.
Rumah kontrakan kecil itu merupakan
sekre dari perkumpulan Relindo (Relawan Indonesia) yang ada di Mamuju. Sekre
tersebut merupakan sekre baru dengan penghuni sebelumnya adalah perkumpulan
mahasiswa teknik di salah satu Perguruan Tinggi disana. Wajar saja di
dindingnya banyak lukisan laki dan graffiti yang sangat identik dengan mereka
dan membawa kesan yang menyeramkan. Kami berbincang banyak dengan kakak-kakak
yang ada disana, saling sharing pengalaman.
Saat kami bertanya mengapa mereka mau menolong kami yang tidak mereka kenal,
lebih tepatnya yang baru kenal langsung minta tumpangan, mereka menjawab
“Menolong sesama teman pengabdian dan saudara setanah air tidaklah memerlukan
alasan.” Alhamdulillah, kami belajar lagi hari itu.
Di tengah obrolan, tiba-tiba Isma
panik karena ada kesalahpahaaman dengan kenalan yang dihubunginya. Setahu Isma,
kenalannya ini mengatakan hanya bisa memberi bantuan transportasi selama di
Mamuju, ternyata dia juga mencarikan tumpangan tempat tinggal ke temannya yang
lain. Jadilah malam itu kami memilki 2 pilihan tempat menginap dan bingung
bagaimana. Setelah mempertimbangkan banyak hal, kami memutuskan untuk menginap
di sekre Relindo malam itu kemudian
menginap di rumah temannya kenalannya Isma untuk 2 hari berikutnya. Kemudian
kenalan Isma tadi mengatakan ingin bertemu dengan kami saja malam itu. Ia pun
mendatangi kami ke sekre Relindo.
Kenalan Isma ini bernama Fai, pemuda
berusia 20 tahun asli Mamuju. Isma kenal dari salah satu temannya di ITB. Kami
menyampaikan permintaan maaf kami pada Fai yang sudah mencarikan tempat tinggal
untuk kami tapi malam itu kami tidak menginap disana. Beruntung Fai orangnya
santai dan supel, wajar saja ia merupakan salah satu duta wisata dan aktif di
beberapa organisasi di Mamuju. Fai bersemangat sekali malam itu dan mengajak
kami untuk makan malam diluar dan kakak-kakak Relindo juga setuju untuk
mengajak kami jalan-jalan sambil makan.
Kami mengendarai motor bersama Fai
dan kakak-kakak Relindo, diajak ke pusat kota tepi pantai, yang memang ramai
saat malam hari, makan dan nongkrong seperti halnya pemuda disana. Menyenangkan
menikmati suasana malam Mamuju.
Karena keesokan harinya kami harus
kembali ke sekolah-sekolah, kami harus segera beristirahat agar besok bisa fit lagi bertemu dengan murid-murid SMA.
Pebi dan Isma dipersilahkan tidur disalah satu
kamar sementara yang laki-laki tidur di ruang depan. Kamarnya sangat
nyaman dengan kasur dan kipas angin didalamnya, dan tentu saja karena ada
sumber listrik yang sudah menjadi kebutuhan primer kami. Walaupun suasananya
agak seram karena banyak lukisan-lukisan di dindingnya, mulai dari lukisan
Soekarno sampai lukisan Siksa Kubur, Pebi dan Isma tetap tertidur pulas karena
kelelahan.
7 JANUARI 2017
2 sekolah yang akan kami kunjungi
adalah SMAN 1 Mamuju dan SMA PGRI. Kebetulan Fai adalah alumni dari SMAN 1
Mamuju dan dia mau ikut kami sosialisasi kesana. Pagi itu juga kami berpamitan
dengan kakak-kakak Relindo yang sudah mengizinkan kami menginap 1 malam di
sekrenya. Kami dijemput oleh temannya Fai, Irna namanya, dan ke rumahnya
terlebih dahulu untuk menaruh barang-barang kami. Jadi Irna ini adalah temannya
Fai yang memberi kami tumpangan selanjutnya selama di Mamuju. Irna juga
menyediakan transportasi bagi kami, tapi hanya kendaraan saja, tidak dengan
supirnya. Kebetulan Rifki bisa mengendari mobil sehingga tidak ada masalah
transportasi selama di Mamuju.
Luas wilayah Mamuju cukup kecil,
sekolah yang ingin kami kunjungi jaraknya tidak terlalu jauh satu sama lain.
Kami tiba di SMAN 1 Mamuju kurang lebh pukul 8 pagi dan segera menemui
kesiswaan disana. SMAN 1 Mamuju merupakan sekolah terbaik di Mamuju sehingga
sarana dan prasarana sekolahnya sudah sangat baik, murid-muridnya pun banyak
yang melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus.
Dihari sebelumnya pihak sekolah
mengatakan bisa menyediakan aula untuk kami sosialisasi ke murid kelas 12,
namun saat hari H sepertinya ada miskomunikasi sehingga ada kami tidak dapat
menggunakan aula. Kesiswaan menawarkan kami untuk melakukan presentasi ke kelas
yang kosong, dan akan menggabungkan beberapa kelas menjadi 1 kelas. Kami
sepakat dibagi jadi 2 tim, Pebi dengan Rifki dan Mail dengan Isma.
Menyenangkan sekali suasana
presentasi di SMAN 1 Mamuju, ditambah dengan bumbu-bumbu dari Fai. Murid-murid
disana banyak bertanya dan paling antusias saat kami memutarkan video OSKM ITB
2015. Kebanyakan dari mereka menganggap orientasi di perguruan tinggi hanya diisi
dengan perploncoan dan hal-hal yang tidak berfaedah. Padahal sebenarnya
kegaiatan orientasi itu dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi
kampus dan ITB mempersiapkan masa orientasinya
dengan sangat meriah, untuk
menunjukkan bahwa ITB sangat senang kedatangan keluarga barunya.
“Siapa yang mau jalan jalan ke ITB?”
Semuanya mengangkat tangan. Kami
berpura pura sebagai tourguide yang
mengajak mereka berkeliling ITB hanya dalam waktu 7 menit, dengan memutar video
profil ITB dan menceritakan fakultas-fakultas yang ada.
Kami melakukan presentasi 2 kali di
SMAN 1 Mamuju karena keterbatasan ruangan. Lelah luar biasa dan suara yang
sudah hampir hilang di akhir penjelasan. Segelas teh gelas dan air mineral
dingin sangat melegakan siang itu. Kami tidak banyak membuka sesi tanya jawab
karena harus melaksanakan sholat dzuhur.
Sebelum benar-benar pamit, seperti
biasa kami memberikan kontak kami dan foto bersama murid-murid disana. Kami
kebingungan mencari pihak sekolah untuk menyerahkan kenang-kenangan, tiba-tiba
kami dicegat seorang bapak yang mengaku sedang mengikuti audisi stand up comedy disalah satu saluran
televisi swasta. Beliau memperkenalkan dirinya dengan unik. Kami bukannya
terhibur tapi lebih terlihat ketakutan saat itu. Ternyata memang beliau bisa
dibilang mc kondangnya Mamuju, penyiar radio tapi sering diminta untuk jadi
pembawa acara. Kami pikir beliau adalah kepala sekolah. Ada-ada saja.
Selesai dari SMAN 1 Mamuju, kami
segera menghubungi sekolah berikutnya yang berada persis di seberangnya. Kami
senang saat pihak sekolah mengizinkan kami untuk melakukan sosialisasi, tapi
kami juga cukup kaget ternyata sekolah tersebut tidak ada muridnya. Kami juga
tidak paham kenapa bisa begitu, tapi yang jelas target sekolah kami berkurang
1.
Fai menawari kami untuk berkeliling
Mamuju. Tentu saja kami tidak menolak. Sepanjang perjalanan Fai menceritakan
banyak hal tentang Mamuju dan sejarah-sejarah dibalik kabupaten yang
dicintainya tersebut. Mulai dari asal muasal nama, mitos, dan orang-orang
didalamnya rasanya Fai benar-benar pantas dibilang sebagai duta wisata.
Sepanjang jalan juga kami membuka
sesi konsultasi masalah percintaan dengan Rifki yang ternyata ahli. Studi kasus
mulai dari masalah pertengkaran, LDR, sampai perselingkuhan pun dibahas tuntas.
Tempat tujuan kami selanjutnya adalah masjid agung dekat kantor gubernur
Sulawesi Barat. Masjidnya besar dan berada di daerah yang cukup tinggi. Dari
beranda masjid kami bisa melihat seluruh kota dan bersantai menikmati indahnya
laut. Cuaca hari itu juga tidak terlalu panas dan tidak terlalu gelap, langit
sore terlihat jelas dana gin bertiup pelan. Kami memutuskan berdiam sejenak di
masjid itu, beristirahat, saling bercerita dan seperti biasa kami keasikan.
Fai menunjukkan beberapa tempat
menarik lainnya yang mungkin bisa kami kunjungi, tapi karena hari sudah sore
kami menuju sebuah jempatan gantung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
masjid. Jembatan tersebut cukup ramai oleh warga Mamuju dan memiliki
pemandangan yang indah di sisi-sisinya. Warga Mamuju saja masih banyak yang
mengabadikan momen disana, kami yang baru pertama kali kesana pun tak mau
kalah.
Kami pikir setelah dari jembatan
kami akan langsung pulang, tapi Fai mengajak kami ke 1 tempat lagi yang katanya
sangat cocok untuk melihat sunset
berhubung langit hari itu cukup cerah. Kami pun diajak ke Pantai Manakarra yang
berada di pusat kota Mamuju. Kalau sore hari, disana banyak warga yang bermain.
Banyak yang menyewakan sepeda listrik atau kendaraan serupa yang biasa
disewakan untuk anak-anak di mall atau lapang luas. Kami belum pernah
mengendari kendaraan seperti itu karena memang biasanya disewakan ke anak-anak.
Tapi akhirnya kami menyewa sepeda listrik dan hoverboard. Mengelilingi kawasan Pantai Manakarra sambil menikmati
senja. Rasanya menyenangkan sekali, walaupun Isma harus jatuh karena baru
pertama kali menggunakan hoverboard
hingga memar-memar tangannya dan Pebi yang berkali-kali menjerit ketakutan
karena dibonceng oleh Isma dengan kencang menggunakan sepeda listrik. Sebelum
langit benar-benar menjadi gelap, kami duduk menyaksikan bagaimana matahari menghilang, mengabadikan momen menyenangkan
saat itu.
8 JANUARI 2017
Hari Minggu merupakan waktu kami
untuk beristirahat, dan kami meng habiskan waktu tersebut untuk jalan-jalan.
Fai mengajak kami ke sebuah pulau
yang memang menjadi salah satu destinasi di Mamuju, Pulau Karampuang.
Perjalanan dari pelabuhan hanya memakan waktu sekitar 30 menit menggunakan
perahu. Laut kehijau-hijauan dan bukit-bukit terbentang menemani perjalanan
kami, sepanjang perjalanan Fai dan Irna mengajarkan kami sebuah lagu khas suku
Mandar yang harus dinyanyikan di Pulau tersebut, Pulo Karampuang.
“Oh
pulo karampuang
Di
olona mamuju
Merio-rio
nikita di wattu
Simbar
karampuang”
Kami semua menyanyikannya dengan
banyak kosa kata yang salah, Irna dan Fai pun tertawa mendengarkan kami
bernyanyi.
Sesampainya di Pulau yang berbentuk
bukit tersebut, kami melakukan kegiatan turis pada umumnya, berkeliling pulau,
memasuki sebuah gua lidah yang sangat sempit, dan berenang di pantai yang
sangat jernih. Airnya terlihat dangkal namun ketika masuk kedalam ternyata
cukup dalam dengan kedalaman sekitar 4 meter dipinggir pantai. Setelah asik snorkeling, kami tidak sengaja bertemu
dengan Wakil Bupati Mamuju, dan disana kami mengobrol dengan pendidikan,
budaya, dan politik yang sedang panas-panasnya untuk pemilihan gubernur disini.
Sebelum kami berangkat ke pulau ini,
Mail mengajak anak-anak SMA 1 Mamuju yang kami kunjungi untuk ikut bermain ke
Pulau Karampuang dan merekapun dengan antusiasnya datang menemui kami. Kamipun
bertemu mereka di pulau tersebut. Disana kami melanjutkan sesi tanya jawab yang
sempat tertunda. Hari libur pun harus bisa memberi manfaat.
Selesai dari Pulau Karampuang, kami
diajak makan satu makanan yang cukup terkenal disana yaitu Stepang. Makanan ini
sekilas sangat mirip dengan mie ayam, secara rasa juga hampir sama.
Malamnya kami kembali mengundang
anak-anak SMA 1 Mamuju untuk berkunjung ke rumah Irna. Barangkali ada yang
masih ingin ditanyakan. Tak disangka anak-anak SMA 1 Mamuju datang dengan
membawa jajanan yang lezat. Tak malu malu, kami melahap jajanan tersebut sambil
mengobrol tentang perguruan tinggi.
Malam ini kami berencana begadang,
bukan untuk briefing dan bersiap, melainkan untuk berjibaku dalam perebutan
mata kuliah, karena mulai esok hari FRS dibuka. Walaupun sinyal minim kami
tidak gentar! Namun tetap saja Mail tertidur dan baru mengisi esok harinya.
9 JANUARI 2017
Pagi itu hujan lebat. Sangat nyaman
untuk bermalasan rasanya. Tidak disangka kami bisa bangun, sarapan, dan segera
bersiap. Tujuan sekolah kami hari itu adalah SMAN 2 dan SMAN 3 Mamuju. Irna
menyarankan agar berangkatnya agak siangan saja. Kami mendesak pagi karena kami
harus pergi ke 2 sekolah hari itu. Irna dan Fai mengiyakan dan kami pun
berangkat ke SMAN 2 Mamuju, sekolahnya Irna sebelumnya.
Sesampainya disana, sekolah
benar-benar sepi, murid yang ada dapat dihitung dengan jari. Gurunya pun juga
sama. Ternyata memang sudah menjadi hal yang wajar disana, jika hari hujan kegiatan belajar-mengajar akan ditunda
sampai hujan reda. Kalau hujan tak kunjung reda, berarti sekolah diliburkan
hari itu. Kami masih terheran-heran dengan peraturan tidak tertulis itu. Alasan
utamanya adalah karena disana tidak ada kendaraan umum dan murid-murid
kebanyaakan menggunakan motor pribadi. Orang tua juga sering protes kalau
anaknya sakit akibat hujan-hujanan ke sekolah, jadilah ada semacam kebiasaan
seperti itu.
Kami juga tidak bisa apa-apa selain
menunggu. Kurang lebih 1 jam kami duduk di ruang guru akhirnya Mail memutuskan
untuk membagi tim lagi. Hari semakin siang dan tidak mungkin melakukan
presentasi secara bersama, akhirnya Pebi dan Rifki ke SMAN 3 Mamuju, Mail dan
Isma tetap menunggu di SMAN 2 Mamuju.
Mail dan Isma tidak melakukan
sosialisasi seperti sebeleum-sebelumnya, karena jumlah murid yang ada sangat
sedikit yaitu berjumlah 4 orang, mereka lebih seperti sharing session dengan murid-murid yang ada, menggunakan laptop,
memperlihatkan beberapa video dan saling bertukar pengalaman. Cara seperti itu
sangat cocok untuk lebih mengenal murid-murid dan kendala yang sebenarnya
mereka hadapi. Murid-murid juga lebih terbuka walaupun tentu saja perlu waktu
yang cukup lama. Mail, Isma dan juga sempat membuat video seru di kelasnya.
Beralih ke SMAN 3 Mamuju, keadaannya
juga tidak jauh berbeda dengan SMAN 2, masih sepi karena hujan. Kami meminta
tolong kepada sekolah untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya murid disana, tidak
harus yang kelas 3. Alhamdulillah cukup banyak murid yang datang.
Pebi dan Rifki cukup bingung harus
membawakan presentasi bagaimana karena murid-murid tersebut banyak yang tidak
memiliki ketertarikan untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka tidak bisa
menjawab saat ditanya tentang perguruan tinggi yang ada di Indonesia, bagaimana
jalur masuk ke perguruan tinggi, apalagi jurusan apa saja yang bisa mereka
ambil. Pebi dan Rifki berusaha memberikan informasi dengan cepat tapi tetap
lengkap, namun tetap saja sebagaian besar dari mereka memang terlihat tidak
tertarik untuk berkuliah. Tapi sepertinya kisah inspiratif dari Arif Mappe si
Putra Derah Sulbar tetap sukses mencuri perhatian seisi kelas.
Tidak hanya cerita Arif, cerita
Rifki pun juga selalu berhasil memotivasi yang mendengarnya. Singkatnya, saat
SMA dulu, Rifki adalah anak yang bandel dan malas belajar, suka tawuran, bahkan
ada guru yang mengatainya tidak pintar karena tidak bisa mengerjakan soal yang
dinilai mudah. Prestasi Rifki juga biasa saja bahkan bisa dibilang kurang, ia
peringkat 200 dari 200an siswa di angkatannya. Sampai pada suatu malam Rifki
merenung akan jadi apa dia nanti kalau hidupnya terus seperti itu, bagaimanapun
juga ia adalah anak laki-laki dan nantinya akan menjadi kepala serta tulang
punggung keluarganya. Maka sejak saat itu Rifki berusaha mati-matian untuk
belajar dan memperjuangkan masa depannya. Saat ia mengatakan ia ingin masuk
ITB, ayahnya sendiri, orang yang paling dekat dengannya meremehkannya dan
mengatakan kalau ia tidak akan bisa tembus ke ITB. Namun hal itu tidak membuat
Rifki menyerah begitu saja, ia tetap berjuang sampai saat pengumuman SBMPTN dan
ia dinyatakan diterima di FTSL ITB, ayahnya sampai menangis kagum.
Hari itu merupakan hari terakhir
kami di Mamuju. Sedih rasanya harus berpisah dengan Irna dan Fai yang telah
membuat 3 hari kami di Mamuju sangat menyenangkan. Untuk perjalanan berikutnya
kami menggunakan travel yang memang
sudah jadi transportasi umum antarkota di Sulawesi Barat. Ngomong-ngomong
tentang transport antarkota, ada cerita menarik dari Rifki.
Rifki membawa topi kesayangannya dan
cukup sering menggunakannya di perjalanan. Saat menuju ke Mamuju, topi tersebut
tertinggal di mobil yang mengantar kami ke Mamuju. Rifki terlihat tidak rela
topinya hilang, tapi ya mau bagaimana, kami tidak ada yang punya kontak supir
yang mengantar dan akhirya meminta Rifki untuk mengikhlaskan saja topi itu.
Saat di Mamuju, Fai membantu kami mencarikan travel yang harganya cocok untuk ke kota selanjutnya. Kami dibawa ke
terminal tempat travel-travel itu
mangkal. Saat tiba di terminal, Rifki menyadari salah satu mobil yang ada
disana adalah mobil yang kami gunakan saat ke Mamuju. Langsung saja iya menuju
kesana dan berharap topinya masih ada. Rifki menanyakan apakah ada barang yang
tertinggal di mobil dan orang disana menjawab hanya masker dan sedikit sampah.
Tapi Rifki melihat ada yang memakai topinya saat itu dan dan mengatakan bahwa
itu topinya yang tertinggal. Akhirnya Rifki mendapatkan kembali topinya yang
sudah melintasi Mamuju Tengah-Mamuju lebih dari 3 hari. “Sesuatu yang memang
sudah ditakdirkan untuk menjadi milikmu, sampai kapanpun tidak akan pernah
menjadi milik orang lain”, itulah kalimat yang terlintas di benak kami saat
itu.
MAJENE
Tujuan kami selanjutnya adalah
Kabupaten Majene. Untuk menuju kesana kurang lebih memakan waktu 4 jam, kami
berangkat sore hari dari Mamuju dengan mobil Avanza dan bergabung dengan
beberapa penumpang lainnya dengan berdesak-desakan. Perjalanan kami kembali
melewati jalan trans Sulawesi dan kembali disuguhi pemandangan pegunungan san
lautan yang bersebarangan. Ada penumpang lain yang mabok kendaraan saat itu.
Anak laki-laki kira-kira berusia 10-12 tahun itu muntah berkali-berkali
sepanjang perjalanan. Untung supir sedia kantong plastik sebungkus dan tissue
di dalam mobil, karena yang paling ditakutkan kalau ada yang muntah
diperjalanan adalah akan disusul dengan muntah-muntah dari penumpang lainnya.
Tapi alhmadulillah kami tidak ada yang mabok dalam perjalanan ke Majene.
Kami tiba di Majene cukup malam
sekitar pukul 9 malam. Saat memasuki Majene kami senang melihat ada Indomaret
dan lampu lalu lintas yang ditaati oleh pengendara. Kami menyebutkan sebuah
alamat kepada supir untuk dituju, begitu tiba di daerah yang dimaksud, keadaannya
sangat gelap, ternyata malam itu sedang mati listrik. Kami mendapatkan
tumpangan menginap oleh salah satu kenalan kami di ITB, namanya Ratih. Ratih
sendiri tidak tinggal di Majene namun kami diizinkan untuk menginap di rumahnya
yang ada disana. Kami dijemput oleh pamannya yang tinggal tak jauh dari
rumah Ratih dan diantarkan ke rumahnya.
Karena disana benar-benar gelap,
kami memutuskan untuk menunggu di teras rumah saja, sambil menunggu pamannya
Ratih mengambilkan beberapa barang. Hari semakin malam dan listrik tak kunjung
menyala. Baterai ponsel kami sudah habis ditambah langit yang tidak begitu
cerah melengkapi gelapnnya hari itu. Kami mendiskusikan rencana kami keesokan
harinya untuk menuju ke sekolah-sekolah. Lagi-lagi kami memiliki kendala
transportasi untuk menuju sekolah. Mail berusaha menghubungi beberapa kontak
orang Majene yang didapatkannya untuk meminjam motor.
Sekitar pukul setengah 11 malam
listrik pun menyala. Kami diantar masuk oleh Pamannya Ratih dan menunjukkan
beberapa ruangan. Rumah itu terlihat sudah cukup lama tidak dihuni namun
listrik dan airnya masih menyala. Kami diperbolehkan tinggal disana dan
dititipi beberapa pesan menggunakan barang-barang yang ada disana. Kami pun
langsung membersihkan kamar mandi dari serangga- serangga yag sudah lama
bersarang dan lain-lainnya kemudian briefing
untuk menuju sekolah esok harinya, namun seperti biasa kami tertidur sebelum briefing selesai.
10 JANUARI 2017
Sesuai yang sudah disepakati, Pebi
dan Rifki melakukan sosialisasi ke sekolah yang terdekat dari tempat tinggal
kami yaitu SMAN 3 Majene. Mail dan Isma sosialisasi ke sekolah yag cukup jauh,
kurang lebih 10km untuk dapat menuju kesana, yaitu SMAN 1 Pamboang. Beruntung
pagi itu Mail berhasil mendapat pinjaman motor untuknya dan Isma.
Pebi dan Rifki berangkat lebih dulu
dengan berjalan kaki mengikuti petunjuk yang diberikan warga sekitar. Ternyata
SMAN 3 benar-benar dekat, tidak sampai 10 menit berjalan kami sudah tiba
disana. Kami disambut dengan baik oleh guru dan kepala sekolah disana. Seperti
biasa kami mengobrol sebentar mengenai kondisi sekolah dan lulusannya,
Alhamdulillah SMAN 3 Majene sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai
jalur masuk perguruan tinggi, sehingga kami lebih fokus ke memberi semangat dan
motivasi untuk murid-murid kelas 12 disana.
Kami sempat bingung kenapa ada cukup
banyak pemuda yang berpakaian bebas disana. Rupanya sekolah ini menjadi gedung
kuliah sementara untuk mahasiswa Universitas Sulbar karena kampusnya sedang
dibangun. Agak kecewa sebenarnya yang datang ke sosialisasi kami hari itu tidak
semua anak kelas 12 nya karena hari itu bertepatan dengan hari terakhir
mengurus data siswa yang tidak lengkap.
Presentasi dibawakan bergantian oleh
Pebi dan Rifki. Saat Rifki presentasi, Pebi bertugas sebagai dokum dan berdiri
di belakang siswa. Kebetulan saat itu ada seorang guru olahhraga bernama Pak
Rahmat yang juga sedang mengawasi berlangsungnya kegiatan. Pebi mengobrol cukup
banyak dengan Pak Rahmat dan menceritakan bagaimana perjalanan kami sampai
akhirnya tiba di Majene. Pebi pun tidak sengaja bercerita kalau kami masih
bingung untuk transportasi di Majene dan
kami baru ada 1 motor. Pak Rahmat langsung menwari kami untuk menggunakan
motornya, kebetulan belai memiliki 2 motor. Alhamdulillah, lagi-lagi urusan
kami dimudahkan.
Selesai melakukan presentasi dan
menjawab sedikit dari keingintahuan murid-murid di SMAN 3 Majene, kami ikut Pak
Rahmat ke rumahnya untuk mengambil motor yang akan dipinjamkannya. Motor itu
sudah tua dan beberapa bagian ada yang rusak. Namun selagi bisa dikendarai bagi
kami tidaklah masalah. Kami tidak hanya dipinjami motor tapi juga dicarikan
helm pinjaman. Alhhamdulillah, syukur kami ucapkan berkali-kali.
Beralih ke Mail dan Isma yang harus
presentasi di SMAN 1 Pamboang, mereka berangkat agak telat dan menggunakan
motor dengan kecepatan tinggi hingga 80km/jam agar tidak telat. Karena ngebut,
papan penunjuk arah menuju SMAN 1 Pamboang tidak terlihat sehingga Mail dan
Isma sempat kebablasan. Sesampainya di sekolah kepala sekolah sudah menunggu
dan segera mengantarkan kami menuuju ruang presentasi yang ternyata merupakan
sebuah laboratorium! Kami meminta maaf karena sudah sedikit terlambat dari
waktu yang dijadwalkan. Persiapan dimulai Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan
kami. Ternyata hari itu kembali mati lampu, ya memang seperti ini
kabupaten-kabupaten pemadaman listrik
selalu terjai. Mail dan Isma terpaksa melakukan presentasi tanpa
menggunakan slide. Karena hari-hari sebelumnya mati lampu kerap terjadi, kali
ini presentasi tanpa slide terasa lebih mudah. Di penghujung presentasi,
adik-adik dari SMAN 1 Pamboang mengajak Mail dan Isma untuk kembali mengunjungi
Pamboang sore harinya.
Pebi dan Rifki yang sudah
menyelesaikan tugasnya di SMAN 3 Majene berencana untuk mendatangi sekolah
lainnya untuk janjian waktu presentasi. Kami pun menuju ke SMAN 1 dan SMAN 2
Majene untuk menentukan jadwal.
Pebi dan Rifki bolak-balik meminta
kepastian pihak sekolah. Setelah mempertimbangkan banyak hal dan juga mendapat
izin dari sekolah, kami pun meminta izin untuk melakukan presentasi di SMAN 2
Majene. Kami menemui kepala sekolah dan beberapa guru yang ditugaskan untuk
mengawasi kami, menanyakan masalah lulusan dan beberapa informasi umum. Saat
mengobrol dengan kesiswaan disana, pihak sekolah tidak mau memberikan waktu
khusus untuk kami. Kami ditawarkan untuk presentasi ke kelas-kelas tapi tidak
semua kelas, hanya kelas yang kebetulan kosong atau kelas yang dianggap memang
berpotensi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Kami sangat menyayangkan hal
tersebut dan terus memaksa kesiswaan untuk mengizinkan kami menyampaikan
informasi ke semua murid kelas 12 karena kami merasa apa yang kami bawa ini
sebisa mungkin disampaikan ke semua murid kelas 12 di sekolah yang kami tuju. Namun
kami gagal meyakinkan kesiswaan dan menurut untuk presentasi di beberapa kelas
saja.
Pebi dan Rifki meminta Mail dan Isma
untuk segera menuju ke SMAN 2 Majene untuk membantu melakukan presentasi agar
waktunya efektif dan bisa menjangkau lebih banyak kelas. Sambil menunggu Mail
dan Isma yang kembali melaju cepat dari Pamboang, Pebi dan Rifki segera memulai
presentasinya di salah satu kelas, meminta murid-murid yang ada di kelas
tersebut untuk menghubungi teman-teman lainnya yang sekiranya tertarik untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Saat itu kelas terisi penuh dan
cukup pengap. Tapi hal tersebut tidaklah masalah bagi mereka. Mereka tetap
fokus dan presentasi hari itu sangat menyenangkan. Banyak pertanyaan menarik
dan kritis yang diajukan, banyak pula yang menceritakan mimpi besarnya untuk
berkuliah. Inilah momen yang sangat tidak ingin kami sia-siakan.
Mail dan Isma tiba beberapa menit
setelah Pebi dan Rifki memulai presentasinya. Mendengar Pebi dan Rifki yang
akan melakukan presentasi di SMAN 2 Majene, Mail segera memacu motornya untuk
menyusul mereka. Disana Mail dan Isma mencari kelas yang kosong sesuai arahan
Pebi. Awalnya Mail dan Isma tidak mendapatkan kelas kosong. Hanya mengajak
ngobrol siswa siswi yang kebetulan ada di selasar. Semakin lama semakin banyak
yang tertarik dengan obrolan kami, sehingga salah seorang siswa berinisiatif
untuk mencarikan kami kelas untuk berdiskusi lebh jauh. Di dalam kelas Mail dan
Isma mengatur materi presentasi agar sesuai dengan waktu yang sudah makin
mepet. Dan lagi lagi tanpa slide.
Kami menyelesaikan presentasi kami
bertepatan dengan selesainya kegiatan belajar mengajar hari itu. Lelah, senang,
puas, rasanya bercampur semua. Kami berhasil menyelesaikan misi di 3 sekolah
dalam sehari. Selesai dari SMAN 2 Majene kami pun kembali ke rumah untuk makan
dan beristirahat.
Berbeda dengan saat di Mamuju dan
Mamuju Tengah, kali ini kami harus menyiapkan makan kami sendiri. Akhirnya spek
bahan makanan dan rice cooker yang
kami bawa dari Bandung dipakai juga. Walaupun lauk instan, sederhana, dan
seadanya, kami memastikan nasi tetap panas dan rasanya tetap enak.
Alhamdulillah, sozzis-sarden-bon cabe-sambal terasi tidak pernah senikmat itu
sebelumnya.
Menjelang sore, kami diajak oleh
murid SMAN 1 Pamboang untuk jalan-jalan ke pantai di Pamboang bersama mereka.
Kami yang sudah ada kendaraan tidak ada alasan untuk menolaknya. Selesai Ashar,
kami berempat pun langsung menuju ke Pamboang.
Rifki sangat berjuang mengendarai
motor tua yang dipinjamkan padanya. Lampu, speedometer dan teman-temannya, dan
beberapa bagian sudah patah, lepas, longgar, atau tidak berfungsi lagi. Tapi
hal tersebut tidak menyebabkan perjalanan kami jadi terhambat, hanya sedikit
lambat saja. Di samping Rifki yang sibuk berjuang dengan motornya, Isma asik
merekam vlog perjalanan kami.
Murid-murid SMAN 1 Pamboang
menyambut kami di pinggir jalan utama kearah sekolah mereka, kemudian membawa
kami ke suatu pantai yang tidak terlalu sulit untuk dicapai dari jalan Trans
Sulawesi. Pantainya benar-benar indah dan airnya jernih. Kemudian kami diajak
menuju keatas karang dan begitu sampai diatas, terlihat jelas bentangan laut
dan pulau, air yang biru berbatasan dengan daratan hijau, dipadukan dengan
cerahnya langit hari itu yang berwarna kuning kemerah-merahan, benar-benar
indah. Kalau saja air sedang tidak pasang dan kami membawa pakaian ganti,
rasanya tidak ada alasan lagi yang menahan kami untuk menyeburkan diri kesana.
Sambil menikmati suasana laut, kami juga banyak sharing tentang perguruan tinggi ke mereka, rupanya sesi di kelas
sebelumnya belum cukup menjawab rasa keingintahuan mereka.
Hari semakin sore, rupanya masih ada
1 tempat lagi yang akan dikunjungi, yaitu batu yang menyerupai bukit. Untuk
menuju puncaknya cukup memerlukan perjuangan karena curam, berpasir, dan licin
untuk
beberapa alas kaki. Beberapa dari
murid ada juga yang baru pertama kali naik keatas sana, sama seperti kami.
Dengan beberapa kali terpeleset, tas yang bolongnya semakin besar, dan tali
tripod putus akhirnya kami semua sampai diatas.
Dari atas sana semuanya terlihat
jauh lebih jelas, rangkaian pegunungan, kelokan jalan Trans Sulawesi, laut yang
biru, dan langit yang cerah semuanya dalam sekali tatap. Kami dan mereka senang
sekali hari itu dan saling mengabadikan momen. Ada 1 hal yang sangat berkesan
bagi kami, yaitu kami untuk pertama kalinya merasakan serunya “Om, telolet,
om!”. Setiap ada kendaraan besar yang lewat, kami dan murid-murid SMAN 1
Pamboang serempak berteriak “OM, TELOLET, OM!” dari atas, sekencang-kencangnya.
Senang sekali rasanya setiap ada kendaraan yang menjawab dengan telolet nya. Di
luar dugaan, Om Telolet Om lebih membahagiakan dari yang diperkirakan. Sore itu
kami kembali belajar bahwa ternyata kebahagiaan itu bisa datang dari hal yang
paling sederhana sekalipun.
Matahari pun sudah mulai tenggelam,
kami bergegas turun dan pulang, karena kalau terlanjur malam kami akan susah
penerangan. Terakhir, sebelum berpisah dengan murid-murid SMAN 1 Pamboang, kami
berfoto dengan latar belakang senja di jalan Trans Sulawesi. Perpisahan dari
pertemuan yang sangat singkat dengan mereka, beberapa diantara mereka bahkan
menangis atas perpisahan tersebut. Betapa mulianya orang-orang yang kami temui
disini.
Kami pulang dan setibanya di rumah
kembali disambut oleh listrik yang padam. Malam itu kami memutuskan untuk
menghabiskan malam di sebuah kafe di Majene, mengerjakan beberapa pekerjaan
yang tertunda, mengisi ulang semua baterai, dan berdiskusi untuk hari esoknya.
Sekitar pukul 11 malam, kami pulang
ke rumah dan segera beristirahat, berdoa untuk kelancaran esok, dan memaknai
segala hal yang terjadi sampai hari itu.
11 JANUARI 2017
Kami kembali harus melakukan
presentasi di 2 sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Majene, dan SMA Negeri 1
Campalagian. Pagi-pagi setelah sarapan dengan menu nasi panas-lauk seadanya
kami pun berangkat ke SMAN 1 Majene masih dengan motor pinjaman. Di SMAN 1
Majene, seperti biasa kami dipecah menjadi 2 tim. Isma dan Mail mendapatkan
kelas IPA, sementara Pebi dan Rifki sosialisasi di ruangan yang mayoritasnya
adalah IPS.
SMAN 1 Majene ini merupakan salah
satu SMA favorit di Majene jadi tidaklah heran baik guru maupun siswa sudah
banyak yang aware akan pentingnya
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pebi dan Rifki agak sedikit
kesulitan untuk menyampaikan materi di kelas yang mayoritasnya adalah anak IPS,
karena jujur kami tidak begitu paham tentang program studi IPS. Sehingga
akhirnya materi yang kami sampaikan lebih umum tentang jalur masuk dan motivasi
belajar ke murid-murid.
Sementara Isma dan Mail, mereka
membuat kelas lebih interaktif dengan menceritakan pengalaman-pengalaman
mahaswa ITB yang dengan segaala perjuangan dan pengorbanannya akhirnya
berhassil mewujudkan salah 1 mimpinya. Mail memang paling jago untuk urusan
membuat baper seisi kelas, karena
kalau kita sudah berhasil membawa emosi mereka biasanya pesan yang disampaikan
akan lebih mudah diserap dan dimaknai.
Selesai sosialisasi di SMAN 1 Majene
dan mengobrol singkat dengan pihak sekolah, kami melanjutkan perjalanan kami ke
SMAN 1 Campalagian yang jaraknya belasan kilo dari tempat kami saat itu. Pada
awalnya SMAN 1 Campalagian ini tidak termasuk ke dalam daftar sekolah yang
menjadi tujuan kami, namun atas berbagai pertimbangan dan ketidaksengajaan
memiliki kontak kepala SMAN 1 Campalagian, kami pun memutuskan untuk kesana.
Hari itu merupakan hari yang paling
terik dalam perjalanan kami, walaupun memang tidak seterik biasanya kata
penduduk sana. Kami tiba di SMAN 1 Campalagian saat istirahat siang dan kami
langsung mengistirahatkan diri di ruang tamu. Biarpun terik namun anginnya
sepoy-sepoy dan membuat kami yang cukup kelelahan hari itu sangat ingin
tertidur.
Di SMAN 1 Campalagian, murid kelas
12 dikumpulkan di 2 ruangan besar. Di kelas Pebi dan Rifki tidak menggunakan
proyektor sehingga kami membuka laptop dan membawakan materi lebih santai
seperti sesi sharing-sharing. Seperti
biasa barisan depan diisi oleh murid-murid perempuan karena yang membuka
presentasi hari itu Rifki. Semuanya benar-benar fokus karena memang Rifki
selalu sukses menarik perhatian murid-murid khususnya murid perempuan.
Sementara di kelas Mail dan Isma
sepertinya sudah sangat menyukai penyampaian materi tanpa menggunakan slide dan
proyektor bahkan sudah lupa untuk presentasi dengan slide. Saat itu waktu sekolah akan segera berakhir,
sehingga penyampaian materi dilakukan sangat singkat dan lebih banyak
menceritakan kisah-kisah perjuangan untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Kisah-kisah yang sangat mengharukan dan bahkan ketika itu Ismail yang
menceritakannya juga ikut menangis, begitupun Isma dan murid-murid yang
mendengarkan. Cerita itu membuat mereka bersemangat untuk bertanya.
Selesai menutup presentasi, kami
kembali harus bertemu dengan teriknya matahari. Hari yang sangat melelahkan
rasanya. Seteguk air es sepertinya sudah terasa nikmat jika diminum saat itu.
Kami pun segera pamit ke pihak sekolah dan janjian bertemu di minimarket dekat
rumah. Alhamdulillah akhirnya merasakan segarnya air dingin di hari sepanas
itu. Kami membeli sedikit lauk instan dan segera menuju rumah untuk makan siang
kemudian beristirahat sebentar.
Mail dan Rifki iseng mencari tempat
menarik terdekat yang bisa dikunjungi sore itu sebelum motor pinjaman kami
kembalikan dan sebelum kami meninggalkan kota Majene. Ternyata 3 kilo dari
rumah kami terdapat pantai yang bernama Pantai Dato Beberapa sumber mengatakan
pantai tersebut menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat di Majene.
Tanpa pikir panjang, sore itu juga kami menuju kesana.
Dalam perjalanan menuju ke pantai,
kami menemukan objek menarik di salah satu sisi jalan, yaitu sapi menyusui.
Sambil menunggu Mail dan Isma yang sedang isi bensin, Pebi menghampiri sapi
tersebut dan mengabadikan beberapa gambar. Pebi asik sendiri sampai tidak sadar
warga disana banyak yang mengelilinginya. Pebi keheranan dan takut telah
melakukan hal-hal yang melanggar aturan disana. Dengan wajah yang tidak-tahu
menahu kami pun segera pergi dari sana.
Kami pun tiba di Pantai Dato Tidak
jauh berbeda dengan pantai-pantai yang kami kunjungi sebelumnya. Hanya saja
Pantai Dato ini memiliki pemandangan yang luar biasa indah dan bentuk
daratannya yang tidak rata.
Kami segera menuju ke bawah dan
bermain air sambil menanti senja, merekam dan mengambil sedikit kenang-kenangan
disana kemudian bergegas mencari spot untuk menyaksikan matahari yang perlahan
menghilang.
Setelah matahari benar-benar tidak
terlihat, kami pun kembali ke rumah dan lagi-lagi mati listrik. Pebi dan Isma
memutuskan untuk di rumah saja, mempersiapkan keperluan esok hari karena kami
harus menuju kota berikutnya, sementara Mail dan Rifki harus mengembalikan
motor dan mencarikan lilin untuk di rumah. Cukup lama Mail dan Rifki di jalan,
rupanya sangat sulit mencari lilin saat itu karena memang sedang jadwal mati
lampu untuk daerah Majene.
Kami pun meletakkan lilin di
beberapa ruangan dan menyiapkan makan malam kami yang terakhir untuk di Majene.
Beruntung nasi sudah dimasak sebelum kami pergi ke pantai ssore hari, jadi
malam tinggal menyiapkan lauk. Sebenarnya tidak banyak juga yang disiapkan
karena semuanya lauk instan cepat saji dan cepat santap. Walaupun rumah gelap
sekali malam itu, makanan yang kami siapkan selalu nikmat, bahkan lebih nikmat
ketika kami tidak bisa melihat wujudnya dengan jelas.
12 Januari 2017
POLEWALI MANDAR
Kami bangun sangat pagi dan harus
segera bergegas karena kami harus menuju kota berikutnya yaitu Polewali Mandar.
Sekolah pertama yang kami tuju adalah SMA Negeri 1 Wonomulyo, dan untuk menuju
kesana akhirnya untuk pertama kalinya kami menggunakan transportasi umum yang
bernama Pete-Pete, sebuah moda transportasi umum seperti angkot. Bapak Ramli
mencarikan Pete-Pete untuk kami, sehingga kami tidak perlu jalan ke jalan raya.
Kami berpamitan dengan pamannya Ratih yang sudah banyak membantu kami selama di
Majene, kemudian berangkat menuju kecamatan Wonomulyo, Poliwali Mandar.
Kami diturunkan didepan SMAN 1
Wonomulyo dan masih perlu berjalan kurang lebih 100 meter untuk benar-benar
masuk kedalam sekolahnya. Kami membawa carrier
masing-masing yang beratnya sudah cukup berkurang, namun tetap saja masih
berat. SMAN 1 Wonomulyo ini dikelilingi oleh persawahan dan berada di komplek
sekolahan, jadi ada beberapa sekolah yang terdapat disana.
Saat masuk ke lingkungan sekolah, kami cukup menjadi perhatian karena
mungkin terlihat seperti orang pindahan membawa carrier sebesar itu. Setibanya disana kami tidak bisa langsung
melakukan presentasi karena kami tiba berbarengan dengan salah satu sekolah
tinggi.
Sambil menunggu Mail dan Rifki
menyelesaikan administrasi, Pebi dan Isma menunggu diluar ruang guru dan
disanalah kami bertemu dengan seorang teman yang tiba-tiba menyapa kami,
“Hai, kalian pecinta alam ya? Sering
naik atau ekspedisi?” tanya seorang laki-laki berusia 20tahunan menghampiri
kami.
“Eh, bukan kami baru pertama kali”
jawab kami yang kemudian menjaadi awal dari percakapan kami dengan seorang
pemuda bernama Lengke Kalpataru, salah satu anggota komunitas Pecinta Alam di
Polewali Mandar. Kak Lengke meminta kami untuk menyempatkan diri berkunjung ke
markasnya di Polewali. Suatu kehormatan bagi kami.
Setelah kurang lebih 1 jam menunggu,
akhirnya Mail dan Rifki keluar juga dari ruangan kepala sekolah. Menyampaikan
kesepakatan dengan pihak sekolah untuk melakukan presentasi singkat ke
kelas-kelas yang jumlahnya cukup banyak. Pengalaman baru bagi kami presentasi
seperti ini, tiap kelas diberi waktu 15-20 menit dan kami harus menyampaikan
hal yang sama berkali-kali.
Kami sampai hafal apa yang harus
disampaikan di tiap kelasnya. Walaupun kadang kami merasa haus dan bosan
mengulang penyampaian yang sama, namun respon dari murid-murid disana selalu
berhasil membuat kami lupa kalau kami sudah mengatakan hal yang sama berulang
ulang.
Kebanyakan murid-murid disana
sebenarnya sudah mau untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun
terkendala keterbatasan informasi mengenai beasiswa dan pilihan program studi.
Banyak yang baru tahu kalau beasiswa ternyata tidak hanya Bidikmisi, dan
program studi tidak hanya teknik atau kedokteran.
Sama seperti sekolah-sekolah
sebelumnya, Rifki selalu menjadi artis dimana saja. Kelas selalu kondusif saat
Rifki yang memulai presentasi dan kembali gaduh ketika Rifki memberikan
kontaknya
Sementara Mail dan Isma melakukan
presentasi sedikit lebih lama dari Pebi dan Rifki sehingga hanya dapat
menjangkau 2 kelas saja, hari itu memang sangat singkat waktu presentasinya
karena kami harus berbagi dengan perguruan tinggi swasta yang juga sedang
melakukan sosialisai ke sekolah-sekolah. Setelah selesai presentasi beberapa
anak mendatangi kamu secara langsung untuk mendapatkan informasi yang lebih
banyak khususnya mengenai jurusan-jurusan. Kami berusaha menjawab sebaik
mungkin dengan cepat karena kami harus segera menuju sekolah lain di Polewali
Mandar. Saking terburu-burunya ketika berjalan di koridor berjajar pot-pot
bunga besar, Isma tidak sengaja
menjatuhkan salah satu pot tersebut.
Banyak muridnya yang mengelili kami dan membantu merapikan, Isma pun meminta
maaf dan dan ikut merapikan lalu segera berjalan untuk perjalanan berikutnya.
Kami berpamitan dengan guru dan
murid disana, mengencangkan carrier
masing-masing dan berjalan ke jalan raya yang dilewati Pete-Pete. Tujuan kami
berikutnya adalah SMA Negeri 2 dan SMA Negeri 3 Polewali Mandar yang ditempuh
dalam waktu 40-50 menit dari SMA Negeri 1 Wonomulyo. Kedua sekolah tersebut
mengizinkan kami untuk kesana di jam yang bersamaan. Kami pun membagi tugas,
Mail dan Isma ke SMA 2 Polewali Mandar sementara Pebi dan Rifki ke SMA 3
Polewali Mandar
Di SMA 3 Polewali Mandar atau biasa
disingkat Polman, Pebi dan Rifki menyampaikan materi sebanyak 2 kali dengan durasi
masing-masing 1 jam-an dan dilakukan berturut-turut tanpa jeda. Materi
dipadatkan dan sesi pertanyaan hanya dibuat untuk 2 pertanyaan saja. Disana
kami dibantu oleh seorang guru yang sangat luar biasa, ia bukan guru sebenarnya
melainkan seorang sarjana muda yang ditugaskan untuk mengajar di sekolah
tersebut. Kami banyak berdiskusi tentang masalah pendidikan dengannya dan hasil
diskusi kami hari itu adalah kami sepakat kalau program-program seperti
Indonesia Mengajar dan Diseminasi Khusus ini harus terus dilanjutkan dan
dikembangkan, karena selain memberikan pengalaman berharga bagi orang-orang
yang menjalankannya, tidak jarang juga apa yang dibawa dan disampaikan
benar-benar bisa mengubah pola pikir dari murid-murid yang menjadi sasaran.
Memang dampaknya tidak bisa langsung terlihat karena yang dibawa adalah adalah
sebuah pondasi berupa pola pikir, semangat, dan motivasi.
Pic: Cuplikan video Arif Mappe di Youtube
Seperti biasanya kami memutarkan
video inspiratif Arif Mappe di akhir presentsi kami, memberi contoh kepada
mereka bahwa pendidikan yang layak adalah hak semua orang dan layak untuk
diperjuangka. Berbicara soal Arif Mappe, seseorang yang berkali-kali disebutkan
dalam catatan ini, ia adalah 1 dari
murid-murid yang bertemu dengan tim Diseminasi Khusus yang membulatkan tekadnya
untuk memilih ITB sebagai tempat ia menuntut ilmu selanjutnya. Sekarang kisah
hidup dan perjuangannya disaksikan oleh banyak murid-murid di seluruh Sulawesi
Barat dan mungkin ceritanya akan banyak menginsirasi teman-teman lainnya.
Ditengah kami memutar video Arif
Mappe, Arif menghubungi kami dan mengatakan kalau ia akan menyusul ke sekolah
yang kami kunjungi. Sayang sekali ia baru menghubungi ketika kami sudah berada
di penutup presentasi di SMA 3 hari itu.
Di SMAN 2 Isma dan Mail memang
jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk presentasi dengan slide. Disana,
Kepala Sekolah lupa memberi tahu kami bahwa hari itu ada penilaian Adiwiyata,
sebuah penghargaan lingkungan hidup untuk sekolah. Kami harus presentasi ke
kelas-kelas dan dengan penjelasan singkat tiap kelas dan memang sudah menjadi
hal yang biasa bagi Isma dan Mail. Seselesainya di kelas terakhir kami sangat
senang telah melalukan perjalanan ini hingga sejauh itu berkilo-kilo meter
jauhnya dari Bandung, perjalanan non stop dari Sulawesi Tengah hingga hari itu
di Sulawesi Selatan. Lelah, sangat lelah tapi bahkan lelah itu tidak terasa
ketika kita berada di depan kelas dan tetap harus semangat di depan mereka,
cerita perjalan kami selalu kami ceritakan di kelas agar mereka juga semangat,
juga tidak takut untuk mencari kebaikan sejauh yang mereka bisa capai.
SMAN 2 dan SMAN 3 merupakan sekolah
terakhir dari rangkaian perjalanan Diseminassi Khusus tim Nosarara Nosabatutu.
Kami mengucap syukur bahagia karena misi kami telah selesai, tapi hal tersebut
juga berarti perjalanan ini pun akan segera berakhir.
Kami yang selama ini membicarakan
Arif di tiap sekolah akhirnya bertemu dengannya di Kota tempat tinggalnya. Arif
mengizinkan kami untuk beristirahat dan menginap di rumahnya, untuk menuju
kesana kami diantar oleh salah seorang guru SMA Negeri 3 Polman. Saat itu hujan
deras, orang--orang sana bilang di Polman sudah lama tidak turun hujan,
kebetulan sekali saat kami kesana bersamaan dengan turunnya hujan. Bukan hal
yang jarang bagi kami, sesampainya di rumah Arif, lagi-lagi mati listrik.
Kami disambut baik oleh keluarganya
Arif di rumahnya. Keluarga kecil ini sangat hangat, tidak heran kalau Arif
tentu mendapat banyak dukungan atas cita-citanya yang besar, ayahnya seorang
supir angkot dan ibunya membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Di salah satu sis
rumahnya dipajang penghargaan-penghargaan yang pernah didapat Arif dan
kakaknya. Arif memang sangat berprestasi sejak kecil dan entah ada berapa puluh
piala yang berjajar disana. Ayahnya selalu memajang penghargaan dan hasil karya
dari anak-anaknya, di rumah itu juga ada beberapa lukisan Arif dan potongan
berita koran tentang Arif.
Kami beristirahat, membersihkan
diri, dan bercerita cukup banyak dengan ayah dan ibunya Arif. Kami
mendiskusikan rencana kami untuk hari besoknya, karena kami masih punya 1 hari
kosong sebelum kembali ke kenyataan. Apakah mau menambah sekolah lagi atau mau
jalan-jalan di Polman saja, atau mau apa kami masih belum ada rencana.
Setelah berdiskusi dan
mempertimbangkan banyak hal, kami memutuskan untuk menggunakan 1 hari kosong
itu untuk kembali menikamti indahnya Sulawesi. Banyak yang bilang rasanya tidak
afdhol kalau ke Sulawesi tapi tidak berkunjung ke Tana Toraja. Kami pun sepakat
untuk melakukan ekspedisi budaya ke sana.
Pada awalnya kami terkendala
transportasi untuk kesana, karena memang sangat jarang ada transportasi yang
bisa langsung menuju ke Tana Toraja dari Polman, terlebih lagi saat itu hari
sudah malam. Namun tiba-tiba kami ingat dengan seorang Lengke Kalpataru yang
sempat menyapa kami saat di SMAN 1 Wonomulyo. Kami menghubunginya dan dia
bersedia mencarikan transportasi ke Tana Toraja untuk kami, bahkan ia
memberikan alamat di Tana Toraja untuk kami menyimpan barang-barang kami.
Perjalanan ke Tana Toraja saat itu membutuhkan waktu 6-7
jam, menembus malam dan kesunyiannya.
13
JANUARI 2017
TANA TORAJA
Kami pun melakukan ekspedisi budaya di Tana Toraja dari pagi
sampai menjelang malam. Kebetulan 2 orang yang mengantar kami berkeliling
disana memang sudah biasa membawa orang ke tempat-tempat menarik di Tana
Toraja.
Ini merupakan hal yang baru bagi kami, menyaksikan
kebudayaan yang masih kental dan salah satu
upacara pemakaman yang selama ini hanya kami saksikan melalui media
elektronik.
Kebudayaan dan adat istiadat di Tana Toraja ini hanya 1 dari sekian banyak kebudayaan bangssa Indonesia yang harus dilestarikan dan dilindungi. Saat itu kami sadar bahwa Indonesia dengan kekayaan alam dan budayanya benar-benar hal yang berharga, Betapa makmurnya bangsa ini jika kekayaan itu ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Masalah kesejahteraan dan ketidakmerataan tentu juga akan teratasi.
14 JANUARI
2017
MAKASSAR
Ekspedisi kami benar-benar harus berakhir. Rasa lega,
syukur, senang, dan sedih kami rasakan sekaligus. Sebelum benar-benar
meninggalkan Sulawesi, kami hanya bisa berdoa semoga apa yang kami bawa selama
ekspedisi ini bisa bermanfaat dan berdampak baik bagi murid-murid disana.
Ekspedisi ini boleh berakhir, namun hubungan kami dengan murid-murid disana
tidak boleh putus begitu saja. Kami berjanji tidak akan langsung lepas tangan,
kami akan memfasilitasi informasi bagi mereka, dan terus menjalin komunikasi
walaupun hanya bisa via elektronik.
Terakhir,
Terimakasih Tuhan YME dan semua yang terlibat dalam
ekspedisi khusus tim Nosarara Nosabatutu atas pengalaman tak terlupakan ini.
Pesawat kami pun berangkat mengantarkan kami kembali ke
kehidpan yang harus kami jalani, mengantarkan kami kembali untuk
melanjutkansegala mimpi dan cita-cita kami.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
PENUTUP
Perjalanan ini meninggalkan cerita tersendiri bagi kami yang
terlibat di dalamnya..
Perjalanan ini membawa kami melihat, merasakan, dan belajar
banyak bagaimana memaknai pengabdian, memaknai ketulusan, memaknai takdir Tuhan,
memaknai segala nikmat yang kami dapatkan, dan memaknai hidup untuk terus
menebar manfaat.
Perjalanan ini menyadarkan kami bahwa kami, dan teman-teman
semua memegang tanggung jawab sebagai
penerus bangsa ini dan tiap-tiap pundak ini sedang memikul amanah untuk masa
depan Indonesia yang lebih baik.
Untuk teman-teman pelajar dan semua yang membaca cerita
perjalanan ini, kami berpesan jangan pernah berhenti berjuang dan belajar,
karena ada cita-cita yang harus kamu wujudkan, ada tanggung jawab besar harus
kamu laksanakan, dan ada banyak harapan yang digantungkan.
“Bila kamu
tidak tahan pahitnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan”
“Bermimpilah
setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan terjatuh diantara
bintang-bintang”
“Bermimpilah,
karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”
Semoga cerita perjalanan ini akan disusul dengan
cerita-cerita lainnya, semoga cerita perjalanan ini bisa menjadi awal dari
lahirnya semangat-semangat pejuang penerus Indonesia nantinya.
Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam catatan
perjalanan ini.
Salam Pengabdian,
Nosarara Nosabatutu