-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Perjalanan ini didedikasikan untuk semua pihak yang tertulis dicerita ini, untuk semua orang yang telah menolong kami dengan segala ketulusannya, untuk semua yang telah mendoakan dan mengusahakan perjalanan ini, untuk teman-teman di Sulawesi Barat yang membuat perjalanan ini menjadi tak terlupakan, serta untukmu yang telah meluangkan waktu untuk membacanya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENGANTAR


Perjalanan 11 hari membawa misi khusus ke beberapa daerah di Sulawesi .

Berangkat dengan keadaan akomodasi dan transportasi yang belum jelas. Membawa segudang semangat yang harus disebarkan. Berbekal rencana perjalanan, persiapan, do'a teman-teman, dan keyakinan akan dimudahkan.

Segala Puji bagi Tuhan segala persiapan, kerja keras, waktu, tenaga, dan segala hal yang dikorbankan terbayar lebih selama pelaksanaannya, walaupun harus menyaksikan bukti nyata tidak meratanya pendidikan dan kesejahteraan di bangsa ini.

Kami mencoba membuka harapan murid-murid SMA disana untuk berani menempuh pendidikan yang lebih tinggi untuk kehidupan yg lebih layak, untuk mengabdi pada keluarga, masyarakat, dan tanah air. Menegaskan pada mereka bahwa siapa saja memiliki hak yang sama untuk pendidikan dan hidup yang lebih baik, bahwa segala permasalahan negeri ini menjadi tanggung jawab kita dan mereka nantinya dan ilmulah yang harus menjadi bekal utama yang harus dimiliki.

Antusiasme, semangat, mimpi, cita-cita, dan harapan mereka adalah pengisi ulang semangat kami setiap harinya dan merupakan oleh-oleh yang kami terima dan kami bawa untuk diceritakan pada teman-teman, khususnya teman-teman yang sekarang memiliki kesempatan lebih untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan harapan agar ilmu dan kesempatan tersebut tidak disia-siakan, agar ilmu tersebut digunakan untuk kebaikan masyarakat bangsa ini, agar ilmu tersebut tidak membuat kita semakin angkuh dan memikirkan diri sendiri, melainkan semakin merasa bahwa ilmu tersebut adalah amanah, adalah tanggung jawab kita untuk setidaknya memperbaiki 1 dari sekian banyak permasalahan di negeri ini.

Selamat berjuang para pejuang pendidikan dimanapun dan kapanpun, selamat mengabdi untuk Tuhan dan bangsa ini.

Selamat membaca.




Salam,
Ismail Faruqi, Isma Aini, Rifki Putra, dan Pebriani Artha

Tim Nosarara Nosabatutu,


Ekspeditor Sulawesi Aku Masuk ITB 2017


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

4 Januari 2017
PALU
Inilah hari yang mengawali ekspedisi kami berempat sebagai 1 tim, ekspedisi membawa sebuah misi ke salah satu daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal), yaitu Sulawesi Barat. Singkat cerita, tim ini dipersatukan dengan tujuan dan niat yang sama, dipertemukan dalam sebuah program Diseminasi Khusus Aku Masuk ITB 2017 (DK AMI 2017). Kami tidak menganal satu sama lain pada awalnya, namun misi ini membuat kami berjuang bersama pada akhirnya, dan semoga tidak pernah berakhir.

Diseminasi Khusus Aku Masuk ITB 2017 merupakan sebuah program yang bertujuan untuk menyebarkan dan membagikan semangat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ke adik-adik SMA yang berada di daerah 3T pada khususnya. Tahun ini merupakan tahun ke-3 program ini dilaksanakan dalam rangkaian acara Aku Masuk ITB (AMI) yang mana tahun ini memberangkatkan 3 tim ke 3 daerah yaitu tim Elang Borneo ke Kalimantan Barat, Tim Reka Flores ke NTT, dan tim ini, Nosarara Nosabatutu ke Sulawesi Barat.

Nosarara Nosabatutu beranggotakan Mail sebagai ketua tim, Isma, Pebi, dan Rifki, kemudian kami menyingkat nama tim ini menjadi Nono agar mudah diingat dan disebutkan. Banyak hal yang kami lalui sebelum akhirnya kami sampai di tanggal ini dan bersiap untuk berangkat. Banyak hal yang kami persiapkan dan banyak kendala yang yang kami lewati hingga sampailah hari ini.

Kami berangkat dalam keadaan akomodasi dan transportasi yang belum jelas. Berangkat dengan membawa segudang semangat yang siap disebarkan. Berangkat dengan berbekal rencana perjalanan,
persiapan, do’a dan dukungan teman-teman, serta keyakinan akan dimudahkan.

Dan kami pun berangkat..



Pesawat kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pukul 02.45 WIB dan tiba di Kota Palu, Sulawesi Tengah sekitar pukul 05.30 WITA. Kedatangan kami disambut oleh Ary dan Arya, 2 mahasiswa ITB yang sedang berada di Palu. Kami dijemput dan diajak berkeliling Palu di pagi hari. Ary dan Arya menjalaskan banyak tentang Palu dan Sulawesi, mengajak kami mencicipi makanan disana dan membawa kami ke tempat menarik di Palu. Untuk kami semua yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Sulawesi, kondisi geografisnya sangat unik dan indah. Di satu sisi kami melihat bentangan gunung dan bukit dan disisi lainnya kami menyaksikan keindahan pantai dan pesisir, membuat kami bingung ingin menikmati yang mana. Cuaca di Palu hari itu sangat bersahabat, tidak sepanas biasanya katanya.



Kami diajak kesalah satu tempat tertinggi yang ada di Palu, yaitu Tugu Perdamaian. Dari sana kami bisa menikmati indahnya Kota Palu di pagi hari. Dekat dengan tugu kami melihat sebuah tulisan “NOSARARA NOSABATUTU” dan kami tertarik mengetahui lebih lanjut tentang itu. Ary dan Arya menjelaskan Nosarara Nosabatutu merupakan salah satu ungkapan dalam Bahasa Kaili yang artinya bersaudara dan bersatu. Tanpa pikir panjang lagi, kami sepekat menjadikan Nosarara Nosabatutu sebagai nama tim kami.

Tidak hanya tugu ini yang meninggalkan kesan bagi kami, tapi kami juga meninggalkan sesuatu disana. Salah satu anggota tim kami meninggalkan kacamata barunya disana tanpa sengaja. “Tak apalah, hitung-hitung sebagai peninggal jejak kita pernah kesana (Tugu Perdamaian)” katanya.

Kota Palu hanya persinggahan sementara kami, dan kami harus segera menuju tempat berikutnya yang merupakan tujuan pertama ekspedisi ini, yaitu Mamuju Tengah. Ary dan Arya membantu kami mencari kendaraan yang bisa mengantar kami kesana. Orang-orang Sulawesi menyebutnya Travel/Panther sebagai alat transportasi antarkota, walaupun mobillnya tidak benar-benar Panther. Kami mencari sana-sini transportasi yang cocok dengan budget yang kami sediakan, ternyata hal terebut cukup sulit karena memang perjalanan ke Mamuju Tengah cukup jauh dan hampir tidak ada travel yang mau mengantar kami karena merekaa belum tentu mendapat penumpang saat kembali ke Palu. Kami disarankan untuk menyewa mobil dan supir saja tapi harga yang ditawarkan jauh lebih mahal.

Cukup lama kami mendiskusikan transportasi ini dan sudah hampir menyerah mencari yang murah. Tiba-tiba Arya memberi kabar bahwa kami bisa ke Mamuju Tengah dengan mobilnya dan diantar oleh pamannya. Syukur Alhamdulillah dan terimakasih sebesar-sebesarnya kami berikan pada Ary dan Arya.

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Mamuju Tengah…


MAMUJU TENGAH
Namanya Om Arfan. Om-nya Arya yang dengan baik hati mengantarkan kami ke Mamuju Tengah. Om Arfan mengajak temannya yang lain untuk menemani perjalanan ke Mamuju Tengah karena Om Arfan sendiri kurang begitu hafal daerah sana. Teman Om Arfan ini adalah orang asli Tana Toraja. Selama di perjalanan, selain kami banyak bertanya tentang daerah-daerah tujuan kami, kami juga mendapat banyak cerita tentang Tana Toraja terutama tentang adat dan upacara kematiannya yang terkenal itu.

Perjalanan ke Mamuju Tengah melewati jalan Trans Sulawesi, jalan yang menghubungkan provinsi dan kota-kota di Pulau Sulawesi. Perjalanan ke Mamuju Tengah normalnya memakan waktu 6.5 jam, namun kami menghabiskan kurang lebih 9 jam karena kami beberapa kali berhenti sejenak untuk istirahat, makan, dan sholat.

Kecamatan yang kami tuju adalah Kecamatan Budong-Budong. Kecamatan ini berjarak 20km lebih dari pusat kota. Hari yang sudah gelap membuat kami tidak dapat membaca tulisan alamat di toko-toko pinggir jalan. Sinyal yang melemah dan sulitnya mengakses peta malam itu melengkapi perjalanan kami malam itu. Berkali-kali kami turun untuk bertanya dimana kecamatan Budong-Budong ini.

Mulailah muncul perasaan takut, takut tersesat, takut ditipu orang disana, takut tidak sampai, dan takut-takut lainnya. Kami juga merasa tidak enak dengan Om Arfan dan temannya malah jadi direpotkan mencarikan alamat yang kami tuju.

Alamat yang kami tuju ini merupakan alamat tempat tinggal kami yang merupakan tempat tinggal dari seorang Kakek Bernama Daeng Situju. Beliau merupakan kakek dari Saiful, salah satu murid SMA Negeri 3 Budong-Budong. SMAN 3 Budong-Budong merupakan salah satu sekolah tujuan kami di Kabupaten Mamuju. Singkat cerita, kami berkenalan dengan Ipul di salah satu facebook page kelas XII IPS SMAN 3 Budong-Budong. Ipul merupakan admin dari page tersebut dan kami menceritakan maksud kedatangan kami kesana. Kami menjelaskan kondisi kami yang tidak tahu-menahu tentang daeraah sana dan Ipul menawarkan kami untuk menginap di rumah kakeknya. Ipul sendiri kebingungan menjelaskan lokasi rumah kakeknya. Bermodal patokan dan informasi yang diberikan warga setempat kurang lebih pukul 9 malam kami pun sampai di depan rumah Ipul dan kakeknya.


Rumah ini berada di Desa Salugatta, Kecamatan Budong-Budong. Suasana malam itu sudah sangat sepi dan gelap. Tidak ada lampu jalan dan penerangan seadanya. Rumah-rumah disana masih banyak yang berbentuk rumah  panggung walaupun banyak juga yang sudah beton. Rumah Ipul termasuk yang rumah panggung.

Kami disambut hangat oleh Ipul, kakeknya Ipul, dan kebetulan saat itu ada keluarga Ipul yang lain juga. Kami disuguhi teh hangat dan gorengan dan melepas lelah sejenak. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Om Arfan dan temannya yang sudah mau mengantarkan kami dengan susah payah dan sekaligus perpisahan karena Om Arfan dan temannya harus bergegas pergi. Bayangkan, 9 jam perjalanan mengantar anak-anak ingusan yang tidak beliau kenal dan langsung kembali lagi ke Palu malam itu juga. Terimakasih Om Arfan.

Rumah Ipul tidak besar tidak juga kecil, tapi sangat nyaman dan tertata rapi barang-barang didalamnya. Kami berempat tidur di ruang depan yang merupakan ruang tamu rumah tersebut. Ada 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi didalamnya. Kamar mandi berada di bawah rumah panggung, airnya harus ditimba dari sumur, terbuka, dan tidak ada penerangan. Mail dan Rifki mandi dan saling menyenteri. Kami merasa tidak ada masalah dengan kondisi seperti itu. Diizinkan menginap saja sudah sangat bersyukur. Tapi kami bahkan diberi makan dan diperlakukan dengan baik oleh keluarganya Ipul. Saat Pebi dan Isma pergi ke kamar mandi beberapa jam setelah mail dan Rifki, kakeknya Ipul sudah memasang lampu di kamar mandinya. Beliau mengatakan “ini lampunya sudah bisa, biar gak gelap lagi.. santai saja disini”. Alhamdulillah, benar-benar berhati baik keluarga ini.



Malam itu kami tidak bisa langsung beristirahat karena harus melakukan briefing untuk ekspedisi pertama kami keesokan harinya. Kami melakukan beberapa perubahan urutan sekolah karena kendala jarak dan transportasi disana. Saat itu kami bingung bagaimana menuju ke target sekolah yang jaraknya bisa lebih dari 10km dari tempat kami menginap. Masih dalam kebingungan dan kelelahan hari itu, kami tertidur pulas dan berdoa untuk kelancaran kegiatan kami besoknya.


5 Januari 2017

Sekolah tujuan kami yang pertama adalah SMA Negeri 3 Budong-Budong, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah. Sekolah tersebut merupakan sekolahnya Ipul, sehingga kami berangkat kesana bersama Ipul. Kami berangkat sekitar pukul 8 lewat dan sangat kaget ketika sampai disana sekolah benar-benar sepi. Kata Ipul sekolahnya memang seperti itu di minggu pertama karena masih belum ada kegiatan belajar mengajar. Beberapa kelas dan ruang guru masih terkunci, kami memutuskan untuk menunggu di lapangan dan mengamati sekeliling sambil menunggu. Sekitar pukul 9, Bapak Salim, kepala SMAN 3 Budong-Budong datang dan mempersilahkan kami masuk ruangannya. Kami berbincang mengenai kondisi pendidikan disana sekaligus untuk mempersiapkan materi apa saja yang akan kami sampaikan. Beliau mengatakan sekolah disana kekurangan sumber daya guru berkualitas, juga murid-murid yang tidak jelas mau kemana setelah lulus SMA.



Setelah mendiskusikan ruangan dan durasi penyampaian materi, kami pun diantar menuju ruangan besar seperti aula dan mempersiapkan segala kebutuhan presentasi hari itu. Di ruang besar itu semua murid kelas 12 dikumpulkan, baik IPA maupun IPS, beberapa terlihat antusias, beberapa terlihat terpaksa karena diminta kepala sekolah, dan beberapa lagi berhasil kabur.

“Pagi! Pagi! Pagi!” Kami pun membuka acara hari itu. Alhamdulillah disambut dengan antusiasme murid-murid disana. Kami tidak promosi tentang ITB disini, kami tidak juga menjual mimpi. Kami hanya berusaha membuka pikiran dan memberikan semangat kepada murid-murid disana betapa indahnya dunia dengan ilmu. Menceritakan pada mereka bahwa ilmu dan cita-cita itu harus diperjuangkan, bahwa pendidikan yang layak adalah hak bagi semua orang, bahwa mereka juga merupakan generasi yang akan menentukan bangsa ini kedepannya, bahwa bangsa ini memerlukan penerus-penerus cerdas dan mereka yang berada didaerah 3T bukanlah pengecualian.


Saat ditanya setelah SMA mau lanjut kemana, boro-boro untuk berkuliah, mereka saja tidak tahu apa yang kan mereka lakukan selanjutnya setelah lulus. Kami tidak memaksa mereka untuk memilih kuliah sebagai jalan yang arus mereka ambil setelahnya, kami hanya menekankan jangan pernah berhenti menuntut ilmu dan kuliah merupakan salah 1 medianya.

Murid-murid sangat antusias saat kami memutarkan video tentang gambaran perkuliahan yang ternyata sangat berbeda dengan SMA. Tetapi memang kendala untuk melanjutkan kuliah sangat banyak, beberapa diantarnya masalah biaya, izin orangtua, kurangnya informasi, jarak, dan lain-lain. Kami membawa beberapa informasi mengenai beasiswa dan jalur masuk perguruan tinggi yang dapat mereka ikuti. Sangat miris dari mereka tidak 1 pun yang paham apa itu SNMPTN dan SBMPTN juga beasiswa BIDIKMISI dari pemerintah. Kami berharap informasi yang kami sampaikan hari itu bisa membuka jalan bagi mereka.

Kami mengamati bagaimana wajah-wajah itu mulai berseri setiap kami menceritakan seluk beluk perkuliahan dan ilmu apa saja yang bisa didapatkan. Beberapa dari mereka menceritakan kendala mereka, beberapa menyampaikan niat tulus untuk mengabdi ke daerahnya. Kami berusaha menjawab keingintahuan mereka sebaik yang kami bisa hari itu.


Presentasi di SMAN 3 Budong-Budong berlangsung kurang lebih 1.5 jam, ditutup dengan video kisah inspiratif salah satu putra daerah Sulawesi Tengah bernama Arif Mappe yang dengan perjuangannya berhasil mewujudkan salah satu impiannya untuk berkuliah di ITB. Video itu berhasil membuat seisi ruangan terpaku dan banyak dari mereka yang terpacu untuk terus menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita mereka. Beberapa murid ada yang saling berjanji kelingking, berjanji untuk terus belajar dan berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Momen yang sangat berharga bagi kami melihat semangat yang terpancar dari wajah murid-murid saat itu. Ketika ditanya siapa yang setelah lulus mau melanjutkan ke perguruan tinggi, dengan kompaknya mereka mengangkat tangan dan berteriak “saya!”. Rasa haus, lelah, tegang, dan takut kami pun hilang dengan sendirinya. Sangat berharga.

Hari itu kami masih harus melakukan presentasi ke SMAN 1 Budong-Budong. Namun kondisi saat itu sedang hujan lebat berangin dan kami bingung bagaimana menuju kesana. Renacana awalnya kami akan menggunakan motor warga untuk menuju ke SMAN 1 Budong-Budong yang berjarak lebih dari 7 km dari SMAN 3 Budong-Budong. Beruntung  kepala sekolah dengan baik hati menawarkan tumpangan kesana menggunakan mobilnya dan menyampaikan ke kepala sekolah SMAN 1 kalau kami akan tiba sedikit terlambat.



Sesampainya di SMAN 1 Budong-Budong, kami segera diarahkan ke ruangan besar yang sudah dipenuhi oleh murid kelas 12. Di ruangan itu juga sudah tersedia makanan dan minuman jamuan. Saat itu hari masih hujan dan mati listrik. Mau tidak mau kami menyampaikan materi tanpa menggunakan presentasi yang telah disediakan. Kami cukup banyak bercerita hari mengenai tokoh-tokoh Indonesia dan menjelaskan permasalahan yang dihadapi negeri ini, membangun kesadaran mereka bahwa masalah-masalah terebut masih harus diselesaikan. Beberapa saat kemudian listrik kembali menyala dan kami bergegas menyiapkan perlengkapan presentasi kami. Siang itu rasanya lelah dan suara sudah hampir habis karena kami harus berteriak saat menyampaikan materi di ruangan sebesar itu. Namun lagi-lagi perasaan lelah itu terbayar dengan melihat antusiasme dan semangat mereka. Rasanya kami tidak punya alasan lagi untuk merasa lelah.

Selesai presentasi, kami menyantap hidangan yang disajikan, mengucapkan terimakasih pada pihak sekolah yang telah mengizinkan dan menyambut kami untuk sharing dengan murid-murid disana. Kami sangat terkejut kepala sekolah SMAN 3 Budong-Budong menunggu kami sampai selesai dan lagi-lagi menawarkan kami tumpangan untuk pulang. Tidak hanya diantar pulang, kami juga ditraktir makan siang di salah satu rumah makan seafood di kecamatan Topoyo. Bapak Salim Banyak bercerita tentang Kabupaten Mamuju Tengah khususnya tentang potensi sawitnya, ya memang sepanjang perjalanan kami di Kabupaten tersebut sejauh mata memandang sawit-sawit berdiri mengelilinginya. Singkat cerita 10 tahun yang lalu beliau membeli lahan untuk ditanam sawit, setelah penantian bertahun-tahun lahan sawitnya kini dapat memproduksi dan bahkan Pak Salim dapat menabung untuk membeli mobil, memperbaiki rumah, dan menabung untuk anaknya berkuliah kelak. Rifki yang sangat antusias mendengarkan cerita beliau seperinya tertarik untuk berbisnis sawit disana.

Setelah makan kami tidak langsung kembali ke rumah Ipul, Bapak Salim mengajak kami berkunjung ke rumahnya terlebih dahulu dan lagi-lagi kami dijamu dengan hangat disana, melanjutkan obrolan santai kami mengenai sawit dan Kabupaten Mamuju Tengah, ternyata ada banyak hal menarik yang tidak kami tahu sama sekali.


Tak terasa hari sudah sore dan kami harus segera kembali ke rumah Ipul karena kami sudah berjanji akan pulang sebelum maghrib. Kami beres-beres dan melakukan briefing untuk keesokan harinya. Rencananya kami akan melakukan sosialisasi ke SMAN 1 Topoyo dan SMAN 1 Tobadak yang berada di kecamatan berbeda dari tempat tinggal kami. Malam itu kami masih belum tahu bagaimana cara menuju ke 2 sekolah itu dan berencana menumpang warga yang ingin pergi ke Mamuju atau kecamatan Topoyo. Sebelum mendapat kepastian transportasi untuk keesokan harinya, kami berempat sudah tertidur pulas.



6 Januari 2017
Kami bangun dan pagi itu dikagetkan oleh Ipul dan kakeknya yang ternyata mencarikan pinjaman motor untuk kami menuju ke Kecamatan Topoyo dan Tobadak. Kami benar-benar berterimakasih pada Tuhan dan kakeknya Ipul karena urusan kami dimudahkan. Kami selalu yakin bahwa niat yang baik pasti akan dimudahkan oleh Allah. Insya Allah.

Hari itu adalah hari Jum’at, kami memutuskan untuk membagi tugas. Pebi dan Rifki ke SMAN 1 Topoyo, Isma dan Mail ke SMAN 1 Tobadak. Perjalanan menggunakan motor memang lebih cepat dan menyenangkan karena bisa merasakan langsung keindahan alam disana, namun juga mengerikan karena kami tidak memakai helm dan disana seringkali ada sapi yang seenaknya menyebrang jalan.

Sampai di persimpangan Kecamatan Topoyo, hari mendadak hujan lebat dan tidak bisa diterobos. Kami menepi dan saling menghubungi satu sama lain. Biasanya kalau hujan akan dibarengi dengan kendala lainnya yaitu mati listrik. Mail dan Isma masih harus menempuh kurang lebih 30 km untuk tiba di kecamatan Tobadak, melewati kebun sawit sekali lagi dan jalanan becek berbatu.


Di SMAN 1 Topoyo kami disambut baik oleh guru-guru dan kepala sekolahnya. Beliau banyak bercerita tentang lulusan-lususan sekolahnya yang sudah banyak melanjutkan ke perguruan tinggi. Tidak heran karena SMAN 1 Topoyo bisa dibilang sebagai sekolah favorit di Kabupaten Mamuju Tengah. Pebi dan Rifki diarahkan ke kelas yang besar dan memulai presentasi kami dalam keadaan mati lampu. Murid-murid perempuan berjajar didepan dan mereka terlihat sudah memiliki segudang pertanyaan dikepalanya. Entah memang karena mereka punya banyak pertanyaan atau gara-gara Rifki yang selalu berhasil menjadi pusat perhatian semua murid-murid perempuan. Karena pengetahuan akan perguruan tinggi mereka sudah cukup baik, kami banyak menceritakan tentang perguruan tinggi di Indonesia dan dunia perkuliahan. Setelah presentasi berjalan kurang lebih 1 jam, listrik menyala. Kami di bantu murid disana memasang proyektor dan menyiapkan perlengkapan lainnya untuk memutar beberapa video mengenai gambaran perkuliahan dan tentu saja video Arif Mappe yang selalu sukses menyihir seisi kelas. Kami keaasikan menjelaskan dan tak terasa sudah jam set 12, kami harus segera mengakhiri presentasi karena harus bersiap untuk sholat Jumat.

Pebi tinggal di kelas lebih lama karena ada beberapa murid yang masih belum terjawab rasa ingin tahunya. Kebanyakan dari mereka memiliki kendala tidak tahu mau melanjutkan kuliah kemana dan ada jurusan apa saja. Sambil menunggu yang laki-laki sholat Jumat, Pebi dan beberapa murid perempuan bercerita banyak sambil menyantap jagung rebus yang hari itu terasa sangat enak.



Sementara di SMAN 1 Tobadak, Isma dan Mail juga menikmati penjelasan mereka tanpa menggunakan presentasi yang sudah dipersiapkan karena mati listrik sampai di akhir presentasi. Mail menceritakan tentang kisah perjuangan salah seorang mahasiswa ITB untuk berkuliah dan berhasil memotivasi murid-murid disana. Lebih banyak sharing dan sama saja dengan Pebi dan Rifki, Mail dan Isma juga lupa waktu hingga menuju waktu sholat Jumat. Saat Mail solat Jumat, Isma menunggu dengan menghabiskan waktunya berkeliling menggunakan motor di sekitar daerah Tobadak, SMA 1 Tobadak diapit oleh 2 kebun sawit sehingga berkeliling kanan kiripun hanya akan ada sawit yang dilihat. Seusai Mail sholat Jumat, kami segera kembali ke rumah Ipul, namun Mail dan Isma kembali mendapat cobaan lainnya yaitu ban bocor. Mau tidak mau kami harus menunda keberangkatan kami ke kabupaten selanjutnya yang harusnya dijadwalkan jam 14.00 WITA.

Beruntung Ipul mau membantu menghubungi kendaraan yang akan mengantaran kami ke Kabupaten Mamuju. Sedih rasanya harus berpisah dengan Ipul dan keluarganya yang memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri. Kami berusaha meninggalkan bahan makanan sebagai ucapan terimakasih karena sudah memudahkan banyak kesulitan kami selama di Mamuju Tengah.Tapi pemberian kami selalu diitolak seperti biasanya. Sebagai gantinya kami akan selalu mendoakan keluarga ini agar dilancarkan segala urusannya oleh Tuhan, semoga kebaikan-kebaikan itu akan dibalas lebih dan berlipat.



Sekitar pukul 4, kami foto keluarga kemudian pamit dan meminta do’a untuk perjalanan kami berikutnya ke ibukota Sulawesi Barat, Kabupaten Mamuju.

MAMUJU
Kata orang-orang perjalanan ke Mamuju memakan waktu rata-rata 4 jam. Entah karena mengejar penumpang atau memang style menyetir yang sudah “mahir”, perjalanan kami dengan mobil Avanza hanya memakan waktu 2.5 jam sudah ditambah dengan mencari alamat tujuan dan disertai dengan mual-mual para penumpang.

Sebenarnya saat berangkat dari Mamuju Tengah kami masih belum menemukan tempat tinggal yang pasti di Mamuju. Kami semua berusaha menghubungi kenalan –atau bahkan baru berkenalan via media sosial – sepanjang perjalanan namun belum juga mendapatkan tumpangan untuk tinggal. Sedikit lagi sampai di Kabupaten Mamuju, Mail memberitahu kalau temannya ada yang bisa memberi tumpangan untuk tinggal. Alhamdulillah, kami tidak jadi panik.

Mail mengarahkan supir ke alamat yang diberikan. Tempat yang kami tuju ini merupakan sekre umum dari sebuah komunitas di Mamuju. Sudah tidak ada waktu untuk pikir-pikir lagi, dapat tumpangan saja sudah syukur. Kedatangan kami disambut oleh beberapa pemuda pemilik sekre, mempersilahkan kami masuk dan meminta maaf untuk keadaan sekrenya yang katanya berantakan.


Rumah kontrakan kecil itu merupakan sekre dari perkumpulan Relindo (Relawan Indonesia) yang ada di Mamuju. Sekre tersebut merupakan sekre baru dengan penghuni sebelumnya adalah perkumpulan mahasiswa teknik di salah satu Perguruan Tinggi disana. Wajar saja di dindingnya banyak lukisan laki dan graffiti yang sangat identik dengan mereka dan membawa kesan yang menyeramkan. Kami berbincang banyak dengan kakak-kakak yang ada disana, saling sharing pengalaman. Saat kami bertanya mengapa mereka mau menolong kami yang tidak mereka kenal, lebih tepatnya yang baru kenal langsung minta tumpangan, mereka menjawab “Menolong sesama teman pengabdian dan saudara setanah air tidaklah memerlukan alasan.” Alhamdulillah, kami belajar lagi hari itu.

Di tengah obrolan, tiba-tiba Isma panik karena ada kesalahpahaaman dengan kenalan yang dihubunginya. Setahu Isma, kenalannya ini mengatakan hanya bisa memberi bantuan transportasi selama di Mamuju, ternyata dia juga mencarikan tumpangan tempat tinggal ke temannya yang lain. Jadilah malam itu kami memilki 2 pilihan tempat menginap dan bingung bagaimana. Setelah mempertimbangkan banyak hal, kami memutuskan untuk menginap di sekre  Relindo malam itu kemudian menginap di rumah temannya kenalannya Isma untuk 2 hari berikutnya. Kemudian kenalan Isma tadi mengatakan ingin bertemu dengan kami saja malam itu. Ia pun mendatangi kami ke sekre Relindo.

Kenalan Isma ini bernama Fai, pemuda berusia 20 tahun asli Mamuju. Isma kenal dari salah satu temannya di ITB. Kami menyampaikan permintaan maaf kami pada Fai yang sudah mencarikan tempat tinggal untuk kami tapi malam itu kami tidak menginap disana. Beruntung Fai orangnya santai dan supel, wajar saja ia merupakan salah satu duta wisata dan aktif di beberapa organisasi di Mamuju. Fai bersemangat sekali malam itu dan mengajak kami untuk makan malam diluar dan kakak-kakak Relindo juga setuju untuk mengajak kami jalan-jalan sambil makan.



Kami mengendarai motor bersama Fai dan kakak-kakak Relindo, diajak ke pusat kota tepi pantai, yang memang ramai saat malam hari, makan dan nongkrong seperti halnya pemuda disana. Menyenangkan menikmati suasana malam Mamuju.

Karena keesokan harinya kami harus kembali ke sekolah-sekolah, kami harus segera beristirahat agar besok bisa fit lagi bertemu dengan murid-murid SMA. Pebi dan Isma dipersilahkan tidur disalah satu  kamar sementara yang laki-laki tidur di ruang depan. Kamarnya sangat nyaman dengan kasur dan kipas angin didalamnya, dan tentu saja karena ada sumber listrik yang sudah menjadi kebutuhan primer kami. Walaupun suasananya agak seram karena banyak lukisan-lukisan di dindingnya, mulai dari lukisan Soekarno sampai lukisan Siksa Kubur, Pebi dan Isma tetap tertidur pulas karena kelelahan.


7 JANUARI 2017
2 sekolah yang akan kami kunjungi adalah SMAN 1 Mamuju dan SMA PGRI. Kebetulan Fai adalah alumni dari SMAN 1 Mamuju dan dia mau ikut kami sosialisasi kesana. Pagi itu juga kami berpamitan dengan kakak-kakak Relindo yang sudah mengizinkan kami menginap 1 malam di sekrenya. Kami dijemput oleh temannya Fai, Irna namanya, dan ke rumahnya terlebih dahulu untuk menaruh barang-barang kami. Jadi Irna ini adalah temannya Fai yang memberi kami tumpangan selanjutnya selama di Mamuju. Irna juga menyediakan transportasi bagi kami, tapi hanya kendaraan saja, tidak dengan supirnya. Kebetulan Rifki bisa mengendari mobil sehingga tidak ada masalah transportasi selama di Mamuju.

Luas wilayah Mamuju cukup kecil, sekolah yang ingin kami kunjungi jaraknya tidak terlalu jauh satu sama lain. Kami tiba di SMAN 1 Mamuju kurang lebh pukul 8 pagi dan segera menemui kesiswaan disana. SMAN 1 Mamuju merupakan sekolah terbaik di Mamuju sehingga sarana dan prasarana sekolahnya sudah sangat baik, murid-muridnya pun banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus.


Dihari sebelumnya pihak sekolah mengatakan bisa menyediakan aula untuk kami sosialisasi ke murid kelas 12, namun saat hari H sepertinya ada miskomunikasi sehingga ada kami tidak dapat menggunakan aula. Kesiswaan menawarkan kami untuk melakukan presentasi ke kelas yang kosong, dan akan menggabungkan beberapa kelas menjadi 1 kelas. Kami sepakat dibagi jadi 2 tim, Pebi dengan Rifki dan Mail dengan Isma.

Menyenangkan sekali suasana presentasi di SMAN 1 Mamuju, ditambah dengan bumbu-bumbu dari Fai. Murid-murid disana banyak bertanya dan paling antusias saat kami memutarkan video OSKM ITB 2015. Kebanyakan dari mereka menganggap orientasi di perguruan tinggi hanya diisi dengan perploncoan dan hal-hal yang tidak berfaedah. Padahal sebenarnya kegaiatan orientasi itu dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi kampus dan ITB mempersiapkan masa orientasinya
dengan sangat meriah, untuk menunjukkan bahwa ITB sangat senang kedatangan keluarga barunya.

“Siapa yang mau jalan jalan ke ITB?”

Semuanya mengangkat tangan. Kami berpura pura sebagai tourguide yang mengajak mereka berkeliling ITB hanya dalam waktu 7 menit, dengan memutar video profil ITB dan menceritakan fakultas-fakultas yang ada.




Kami melakukan presentasi 2 kali di SMAN 1 Mamuju karena keterbatasan ruangan. Lelah luar biasa dan suara yang sudah hampir hilang di akhir penjelasan. Segelas teh gelas dan air mineral dingin sangat melegakan siang itu. Kami tidak banyak membuka sesi tanya jawab karena harus melaksanakan sholat dzuhur.

Sebelum benar-benar pamit, seperti biasa kami memberikan kontak kami dan foto bersama murid-murid disana. Kami kebingungan mencari pihak sekolah untuk menyerahkan kenang-kenangan, tiba-tiba kami dicegat seorang bapak yang mengaku sedang mengikuti audisi stand up comedy disalah satu saluran televisi swasta. Beliau memperkenalkan dirinya dengan unik. Kami bukannya terhibur tapi lebih terlihat ketakutan saat itu. Ternyata memang beliau bisa dibilang mc kondangnya Mamuju, penyiar radio tapi sering diminta untuk jadi pembawa acara. Kami pikir beliau adalah kepala sekolah. Ada-ada saja.


Selesai dari SMAN 1 Mamuju, kami segera menghubungi sekolah berikutnya yang berada persis di seberangnya. Kami senang saat pihak sekolah mengizinkan kami untuk melakukan sosialisasi, tapi kami juga cukup kaget ternyata sekolah tersebut tidak ada muridnya. Kami juga tidak paham kenapa bisa begitu, tapi yang jelas target sekolah kami berkurang 1.

Fai menawari kami untuk berkeliling Mamuju. Tentu saja kami tidak menolak. Sepanjang perjalanan Fai menceritakan banyak hal tentang Mamuju dan sejarah-sejarah dibalik kabupaten yang dicintainya tersebut. Mulai dari asal muasal nama, mitos, dan orang-orang didalamnya rasanya Fai benar-benar pantas dibilang sebagai duta wisata.


Sepanjang jalan juga kami membuka sesi konsultasi masalah percintaan dengan Rifki yang ternyata ahli. Studi kasus mulai dari masalah pertengkaran, LDR, sampai perselingkuhan pun dibahas tuntas. Tempat tujuan kami selanjutnya adalah masjid agung dekat kantor gubernur Sulawesi Barat. Masjidnya besar dan berada di daerah yang cukup tinggi. Dari beranda masjid kami bisa melihat seluruh kota dan bersantai menikmati indahnya laut. Cuaca hari itu juga tidak terlalu panas dan tidak terlalu gelap, langit sore terlihat jelas dana gin bertiup pelan. Kami memutuskan berdiam sejenak di masjid itu, beristirahat, saling bercerita dan seperti biasa kami keasikan.


Fai menunjukkan beberapa tempat menarik lainnya yang mungkin bisa kami kunjungi, tapi karena hari sudah sore kami menuju sebuah jempatan gantung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari masjid. Jembatan tersebut cukup ramai oleh warga Mamuju dan memiliki pemandangan yang indah di sisi-sisinya. Warga Mamuju saja masih banyak yang mengabadikan momen disana, kami yang baru pertama kali kesana pun tak mau kalah.


Kami pikir setelah dari jembatan kami akan langsung pulang, tapi Fai mengajak kami ke 1 tempat lagi yang katanya sangat cocok untuk melihat sunset berhubung langit hari itu cukup cerah. Kami pun diajak ke Pantai Manakarra yang berada di pusat kota Mamuju. Kalau sore hari, disana banyak warga yang bermain. Banyak yang menyewakan sepeda listrik atau kendaraan serupa yang biasa disewakan untuk anak-anak di mall atau lapang luas. Kami belum pernah mengendari kendaraan seperti itu karena memang biasanya disewakan ke anak-anak. Tapi akhirnya kami menyewa sepeda listrik dan hoverboard. Mengelilingi kawasan Pantai Manakarra sambil menikmati senja. Rasanya menyenangkan sekali, walaupun Isma harus jatuh karena baru pertama kali menggunakan hoverboard hingga memar-memar tangannya dan Pebi yang berkali-kali menjerit ketakutan karena dibonceng oleh Isma dengan kencang menggunakan sepeda listrik. Sebelum langit benar-benar menjadi gelap, kami duduk menyaksikan bagaimana matahari  menghilang, mengabadikan momen menyenangkan saat itu.


8 JANUARI 2017
Hari Minggu merupakan waktu kami untuk beristirahat, dan kami meng habiskan waktu tersebut untuk jalan-jalan.


Fai mengajak kami ke sebuah pulau yang memang menjadi salah satu destinasi di Mamuju, Pulau Karampuang. Perjalanan dari pelabuhan hanya memakan waktu sekitar 30 menit menggunakan perahu. Laut kehijau-hijauan dan bukit-bukit terbentang menemani perjalanan kami, sepanjang perjalanan Fai dan Irna mengajarkan kami sebuah lagu khas suku Mandar yang harus dinyanyikan di Pulau tersebut, Pulo Karampuang.

“Oh pulo karampuang
Di olona mamuju
Merio-rio nikita di wattu
Simbar karampuang”

Kami semua menyanyikannya dengan banyak kosa kata yang salah, Irna dan Fai pun tertawa mendengarkan kami bernyanyi.





Sesampainya di Pulau yang berbentuk bukit tersebut, kami melakukan kegiatan turis pada umumnya, berkeliling pulau, memasuki sebuah gua lidah yang sangat sempit, dan berenang di pantai yang sangat jernih. Airnya terlihat dangkal namun ketika masuk kedalam ternyata cukup dalam dengan kedalaman sekitar 4 meter dipinggir pantai. Setelah asik snorkeling, kami tidak sengaja bertemu dengan Wakil Bupati Mamuju, dan disana kami mengobrol dengan pendidikan, budaya, dan politik yang sedang panas-panasnya untuk pemilihan gubernur disini.




Sebelum kami berangkat ke pulau ini, Mail mengajak anak-anak SMA 1 Mamuju yang kami kunjungi untuk ikut bermain ke Pulau Karampuang dan merekapun dengan antusiasnya datang menemui kami. Kamipun bertemu mereka di pulau tersebut. Disana kami melanjutkan sesi tanya jawab yang sempat tertunda. Hari libur pun harus bisa memberi manfaat.


Selesai dari Pulau Karampuang, kami diajak makan satu makanan yang cukup terkenal disana yaitu Stepang. Makanan ini sekilas sangat mirip dengan mie ayam, secara rasa juga hampir sama.

Malamnya kami kembali mengundang anak-anak SMA 1 Mamuju untuk berkunjung ke rumah Irna. Barangkali ada yang masih ingin ditanyakan. Tak disangka anak-anak SMA 1 Mamuju datang dengan membawa jajanan yang lezat. Tak malu malu, kami melahap jajanan tersebut sambil mengobrol tentang perguruan tinggi.

Malam ini kami berencana begadang, bukan untuk briefing dan bersiap, melainkan untuk berjibaku dalam perebutan mata kuliah, karena mulai esok hari FRS dibuka. Walaupun sinyal minim kami tidak gentar! Namun tetap saja Mail tertidur dan baru mengisi esok harinya.


9 JANUARI 2017
Pagi itu hujan lebat. Sangat nyaman untuk bermalasan rasanya. Tidak disangka kami bisa bangun, sarapan, dan segera bersiap. Tujuan sekolah kami hari itu adalah SMAN 2 dan SMAN 3 Mamuju. Irna menyarankan agar berangkatnya agak siangan saja. Kami mendesak pagi karena kami harus pergi ke 2 sekolah hari itu. Irna dan Fai mengiyakan dan kami pun berangkat ke SMAN 2 Mamuju, sekolahnya Irna sebelumnya.

Sesampainya disana, sekolah benar-benar sepi, murid yang ada dapat dihitung dengan jari. Gurunya pun juga sama. Ternyata memang sudah menjadi hal yang wajar disana, jika hari  hujan kegiatan belajar-mengajar akan ditunda sampai hujan reda. Kalau hujan tak kunjung reda, berarti sekolah diliburkan hari itu. Kami masih terheran-heran dengan peraturan tidak tertulis itu. Alasan utamanya adalah karena disana tidak ada kendaraan umum dan murid-murid kebanyaakan menggunakan motor pribadi. Orang tua juga sering protes kalau anaknya sakit akibat hujan-hujanan ke sekolah, jadilah ada semacam kebiasaan seperti itu.

Kami juga tidak bisa apa-apa selain menunggu. Kurang lebih 1 jam kami duduk di ruang guru akhirnya Mail memutuskan untuk membagi tim lagi. Hari semakin siang dan tidak mungkin melakukan presentasi secara bersama, akhirnya Pebi dan Rifki ke SMAN 3 Mamuju, Mail dan Isma tetap menunggu di SMAN 2 Mamuju.


Mail dan Isma tidak melakukan sosialisasi seperti sebeleum-sebelumnya, karena jumlah murid yang ada sangat sedikit yaitu berjumlah 4 orang, mereka lebih seperti sharing session dengan murid-murid yang ada, menggunakan laptop, memperlihatkan beberapa video dan saling bertukar pengalaman. Cara seperti itu sangat cocok untuk lebih mengenal murid-murid dan kendala yang sebenarnya mereka hadapi. Murid-murid juga lebih terbuka walaupun tentu saja perlu waktu yang cukup lama. Mail, Isma dan juga sempat membuat video seru di kelasnya.




Beralih ke SMAN 3 Mamuju, keadaannya juga tidak jauh berbeda dengan SMAN 2, masih sepi karena hujan. Kami meminta tolong kepada sekolah untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya murid disana, tidak harus yang kelas 3. Alhamdulillah cukup banyak murid yang datang.

Pebi dan Rifki cukup bingung harus membawakan presentasi bagaimana karena murid-murid tersebut banyak yang tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka tidak bisa menjawab saat ditanya tentang perguruan tinggi yang ada di Indonesia, bagaimana jalur masuk ke perguruan tinggi, apalagi jurusan apa saja yang bisa mereka ambil. Pebi dan Rifki berusaha memberikan informasi dengan cepat tapi tetap lengkap, namun tetap saja sebagaian besar dari mereka memang terlihat tidak tertarik untuk berkuliah. Tapi sepertinya kisah inspiratif dari Arif Mappe si Putra Derah Sulbar tetap sukses mencuri perhatian seisi kelas.

Tidak hanya cerita Arif, cerita Rifki pun juga selalu berhasil memotivasi yang mendengarnya. Singkatnya, saat SMA dulu, Rifki adalah anak yang bandel dan malas belajar, suka tawuran, bahkan ada guru yang mengatainya tidak pintar karena tidak bisa mengerjakan soal yang dinilai mudah. Prestasi Rifki juga biasa saja bahkan bisa dibilang kurang, ia peringkat 200 dari 200an siswa di angkatannya. Sampai pada suatu malam Rifki merenung akan jadi apa dia nanti kalau hidupnya terus seperti itu, bagaimanapun juga ia adalah anak laki-laki dan nantinya akan menjadi kepala serta tulang punggung keluarganya. Maka sejak saat itu Rifki berusaha mati-matian untuk belajar dan memperjuangkan masa depannya. Saat ia mengatakan ia ingin masuk ITB, ayahnya sendiri, orang yang paling dekat dengannya meremehkannya dan mengatakan kalau ia tidak akan bisa tembus ke ITB. Namun hal itu tidak membuat Rifki menyerah begitu saja, ia tetap berjuang sampai saat pengumuman SBMPTN dan ia dinyatakan diterima di FTSL ITB, ayahnya sampai menangis kagum.

Hari itu merupakan hari terakhir kami di Mamuju. Sedih rasanya harus berpisah dengan Irna dan Fai yang telah membuat 3 hari kami di Mamuju sangat menyenangkan. Untuk perjalanan berikutnya kami menggunakan travel yang memang sudah jadi transportasi umum antarkota di Sulawesi Barat. Ngomong-ngomong tentang transport antarkota, ada cerita menarik dari Rifki.

Rifki membawa topi kesayangannya dan cukup sering menggunakannya di perjalanan. Saat menuju ke Mamuju, topi tersebut tertinggal di mobil yang mengantar kami ke Mamuju. Rifki terlihat tidak rela topinya hilang, tapi ya mau bagaimana, kami tidak ada yang punya kontak supir yang mengantar dan akhirya meminta Rifki untuk mengikhlaskan saja topi itu. Saat di Mamuju, Fai membantu kami mencarikan travel yang harganya cocok untuk ke kota selanjutnya. Kami dibawa ke terminal tempat travel-travel itu mangkal. Saat tiba di terminal, Rifki menyadari salah satu mobil yang ada disana adalah mobil yang kami gunakan saat ke Mamuju. Langsung saja iya menuju kesana dan berharap topinya masih ada. Rifki menanyakan apakah ada barang yang tertinggal di mobil dan orang disana menjawab hanya masker dan sedikit sampah. Tapi Rifki melihat ada yang memakai topinya saat itu dan dan mengatakan bahwa itu topinya yang tertinggal. Akhirnya Rifki mendapatkan kembali topinya yang sudah melintasi Mamuju Tengah-Mamuju lebih dari 3 hari. “Sesuatu yang memang sudah ditakdirkan untuk menjadi milikmu, sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi milik orang lain”, itulah kalimat yang terlintas di benak kami saat itu.


MAJENE
Tujuan kami selanjutnya adalah Kabupaten Majene. Untuk menuju kesana kurang lebih memakan waktu 4 jam, kami berangkat sore hari dari Mamuju dengan mobil Avanza dan bergabung dengan beberapa penumpang lainnya dengan berdesak-desakan. Perjalanan kami kembali melewati jalan trans Sulawesi dan kembali disuguhi pemandangan pegunungan san lautan yang bersebarangan. Ada penumpang lain yang mabok kendaraan saat itu. Anak laki-laki kira-kira berusia 10-12 tahun itu muntah berkali-berkali sepanjang perjalanan. Untung supir sedia kantong plastik sebungkus dan tissue di dalam mobil, karena yang paling ditakutkan kalau ada yang muntah diperjalanan adalah akan disusul dengan muntah-muntah dari penumpang lainnya. Tapi alhmadulillah kami tidak ada yang mabok dalam perjalanan ke Majene.

Kami tiba di Majene cukup malam sekitar pukul 9 malam. Saat memasuki Majene kami senang melihat ada Indomaret dan lampu lalu lintas yang ditaati oleh pengendara. Kami menyebutkan sebuah alamat kepada supir untuk dituju, begitu tiba di daerah yang dimaksud, keadaannya sangat gelap, ternyata malam itu sedang mati listrik. Kami mendapatkan tumpangan menginap oleh salah satu kenalan kami di ITB, namanya Ratih. Ratih sendiri tidak tinggal di Majene namun kami diizinkan untuk menginap di rumahnya yang ada disana. Kami dijemput oleh pamannya yang tinggal tak jauh dari rumah  Ratih dan diantarkan ke rumahnya.

Karena disana benar-benar gelap, kami memutuskan untuk menunggu di teras rumah saja, sambil menunggu pamannya Ratih mengambilkan beberapa barang. Hari semakin malam dan listrik tak kunjung menyala. Baterai ponsel kami sudah habis ditambah langit yang tidak begitu cerah melengkapi gelapnnya hari itu. Kami mendiskusikan rencana kami keesokan harinya untuk menuju ke sekolah-sekolah. Lagi-lagi kami memiliki kendala transportasi untuk menuju sekolah. Mail berusaha menghubungi beberapa kontak orang Majene yang didapatkannya untuk meminjam motor.

Sekitar pukul setengah 11 malam listrik pun menyala. Kami diantar masuk oleh Pamannya Ratih dan menunjukkan beberapa ruangan. Rumah itu terlihat sudah cukup lama tidak dihuni namun listrik dan airnya masih menyala. Kami diperbolehkan tinggal disana dan dititipi beberapa pesan menggunakan barang-barang yang ada disana. Kami pun langsung membersihkan kamar mandi dari serangga- serangga yag sudah lama bersarang dan lain-lainnya kemudian briefing untuk menuju sekolah esok harinya, namun seperti biasa kami tertidur sebelum briefing selesai.


10 JANUARI 2017
Sesuai yang sudah disepakati, Pebi dan Rifki melakukan sosialisasi ke sekolah yang terdekat dari tempat tinggal kami yaitu SMAN 3 Majene. Mail dan Isma sosialisasi ke sekolah yag cukup jauh, kurang lebih 10km untuk dapat menuju kesana, yaitu SMAN 1 Pamboang. Beruntung pagi itu Mail berhasil mendapat pinjaman motor untuknya dan Isma.

Pebi dan Rifki berangkat lebih dulu dengan berjalan kaki mengikuti petunjuk yang diberikan warga sekitar. Ternyata SMAN 3 benar-benar dekat, tidak sampai 10 menit berjalan kami sudah tiba disana. Kami disambut dengan baik oleh guru dan kepala sekolah disana. Seperti biasa kami mengobrol sebentar mengenai kondisi sekolah dan lulusannya, Alhamdulillah SMAN 3 Majene sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai jalur masuk perguruan tinggi, sehingga kami lebih fokus ke memberi semangat dan motivasi untuk murid-murid kelas 12 disana.



Kami sempat bingung kenapa ada cukup banyak pemuda yang berpakaian bebas disana. Rupanya sekolah ini menjadi gedung kuliah sementara untuk mahasiswa Universitas Sulbar karena kampusnya sedang dibangun. Agak kecewa sebenarnya yang datang ke sosialisasi kami hari itu tidak semua anak kelas 12 nya karena hari itu bertepatan dengan hari terakhir mengurus data siswa yang tidak lengkap.

Presentasi dibawakan bergantian oleh Pebi dan Rifki. Saat Rifki presentasi, Pebi bertugas sebagai dokum dan berdiri di belakang siswa. Kebetulan saat itu ada seorang guru olahhraga bernama Pak Rahmat yang juga sedang mengawasi berlangsungnya kegiatan. Pebi mengobrol cukup banyak dengan Pak Rahmat dan menceritakan bagaimana perjalanan kami sampai akhirnya tiba di Majene. Pebi pun tidak sengaja bercerita kalau kami masih bingung  untuk transportasi di Majene dan kami baru ada 1 motor. Pak Rahmat langsung menwari kami untuk menggunakan motornya, kebetulan belai memiliki 2 motor. Alhamdulillah, lagi-lagi urusan kami dimudahkan.

Selesai melakukan presentasi dan menjawab sedikit dari keingintahuan murid-murid di SMAN 3 Majene, kami ikut Pak Rahmat ke rumahnya untuk mengambil motor yang akan dipinjamkannya. Motor itu sudah tua dan beberapa bagian ada yang rusak. Namun selagi bisa dikendarai bagi kami tidaklah masalah. Kami tidak hanya dipinjami motor tapi juga dicarikan helm pinjaman. Alhhamdulillah, syukur kami ucapkan berkali-kali.



Beralih ke Mail dan Isma yang harus presentasi di SMAN 1 Pamboang, mereka berangkat agak telat dan menggunakan motor dengan kecepatan tinggi hingga 80km/jam agar tidak telat. Karena ngebut, papan penunjuk arah menuju SMAN 1 Pamboang tidak terlihat sehingga Mail dan Isma sempat kebablasan. Sesampainya di sekolah kepala sekolah sudah menunggu dan segera mengantarkan kami menuuju ruang presentasi yang ternyata merupakan sebuah laboratorium! Kami meminta maaf karena sudah sedikit terlambat dari waktu yang dijadwalkan. Persiapan dimulai Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan kami. Ternyata hari itu kembali mati lampu, ya memang seperti ini kabupaten-kabupaten pemadaman listrik  selalu terjai. Mail dan Isma terpaksa melakukan presentasi tanpa menggunakan slide. Karena hari-hari sebelumnya mati lampu kerap terjadi, kali ini presentasi tanpa slide terasa lebih mudah. Di penghujung presentasi, adik-adik dari SMAN 1 Pamboang mengajak Mail dan Isma untuk kembali mengunjungi Pamboang sore harinya.

Pebi dan Rifki yang sudah menyelesaikan tugasnya di SMAN 3 Majene berencana untuk mendatangi sekolah lainnya untuk janjian waktu presentasi. Kami pun menuju ke SMAN 1 dan SMAN 2 Majene untuk menentukan jadwal.

Pebi dan Rifki bolak-balik meminta kepastian pihak sekolah. Setelah mempertimbangkan banyak hal dan juga mendapat izin dari sekolah, kami pun meminta izin untuk melakukan presentasi di SMAN 2 Majene. Kami menemui kepala sekolah dan beberapa guru yang ditugaskan untuk mengawasi kami, menanyakan masalah lulusan dan beberapa informasi umum. Saat mengobrol dengan kesiswaan disana, pihak sekolah tidak mau memberikan waktu khusus untuk kami. Kami ditawarkan untuk presentasi ke kelas-kelas tapi tidak semua kelas, hanya kelas yang kebetulan kosong atau kelas yang dianggap memang berpotensi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Kami sangat menyayangkan hal tersebut dan terus memaksa kesiswaan untuk mengizinkan kami menyampaikan informasi ke semua murid kelas 12 karena kami merasa apa yang kami bawa ini sebisa mungkin disampaikan ke semua murid kelas 12 di sekolah yang kami tuju. Namun kami gagal meyakinkan kesiswaan dan menurut untuk presentasi di beberapa kelas saja.

Pebi dan Rifki meminta Mail dan Isma untuk segera menuju ke SMAN 2 Majene untuk membantu melakukan presentasi agar waktunya efektif dan bisa menjangkau lebih banyak kelas. Sambil menunggu Mail dan Isma yang kembali melaju cepat dari Pamboang, Pebi dan Rifki segera memulai presentasinya di salah satu kelas, meminta murid-murid yang ada di kelas tersebut untuk menghubungi teman-teman lainnya yang sekiranya tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.


Saat itu kelas terisi penuh dan cukup pengap. Tapi hal tersebut tidaklah masalah bagi mereka. Mereka tetap fokus dan presentasi hari itu sangat menyenangkan. Banyak pertanyaan menarik dan kritis yang diajukan, banyak pula yang menceritakan mimpi besarnya untuk berkuliah. Inilah momen yang sangat tidak ingin kami sia-siakan.

Mail dan Isma tiba beberapa menit setelah Pebi dan Rifki memulai presentasinya. Mendengar Pebi dan Rifki yang akan melakukan presentasi di SMAN 2 Majene, Mail segera memacu motornya untuk menyusul mereka. Disana Mail dan Isma mencari kelas yang kosong sesuai arahan Pebi. Awalnya Mail dan Isma tidak mendapatkan kelas kosong. Hanya mengajak ngobrol siswa siswi yang kebetulan ada di selasar. Semakin lama semakin banyak yang tertarik dengan obrolan kami, sehingga salah seorang siswa berinisiatif untuk mencarikan kami kelas untuk berdiskusi lebh jauh. Di dalam kelas Mail dan Isma mengatur materi presentasi agar sesuai dengan waktu yang sudah makin mepet. Dan lagi lagi tanpa slide.

Kami menyelesaikan presentasi kami bertepatan dengan selesainya kegiatan belajar mengajar hari itu. Lelah, senang, puas, rasanya bercampur semua. Kami berhasil menyelesaikan misi di 3 sekolah dalam sehari. Selesai dari SMAN 2 Majene kami pun kembali ke rumah untuk makan dan beristirahat.

Berbeda dengan saat di Mamuju dan Mamuju Tengah, kali ini kami harus menyiapkan makan kami sendiri. Akhirnya spek bahan makanan dan rice cooker yang kami bawa dari Bandung dipakai juga. Walaupun lauk instan, sederhana, dan seadanya, kami memastikan nasi tetap panas dan rasanya tetap enak. Alhamdulillah, sozzis-sarden-bon cabe-sambal terasi tidak pernah senikmat itu sebelumnya.

Menjelang sore, kami diajak oleh murid SMAN 1 Pamboang untuk jalan-jalan ke pantai di Pamboang bersama mereka. Kami yang sudah ada kendaraan tidak ada alasan untuk menolaknya. Selesai Ashar, kami berempat pun langsung menuju ke Pamboang.

Rifki sangat berjuang mengendarai motor tua yang dipinjamkan padanya. Lampu, speedometer dan teman-temannya, dan beberapa bagian sudah patah, lepas, longgar, atau tidak berfungsi lagi. Tapi hal tersebut tidak menyebabkan perjalanan kami jadi terhambat, hanya sedikit lambat saja. Di samping Rifki yang sibuk berjuang dengan motornya, Isma asik merekam vlog perjalanan kami.




Murid-murid SMAN 1 Pamboang menyambut kami di pinggir jalan utama kearah sekolah mereka, kemudian membawa kami ke suatu pantai yang tidak terlalu sulit untuk dicapai dari jalan Trans Sulawesi. Pantainya benar-benar indah dan airnya jernih. Kemudian kami diajak menuju keatas karang dan begitu sampai diatas, terlihat jelas bentangan laut dan pulau, air yang biru berbatasan dengan daratan hijau, dipadukan dengan cerahnya langit hari itu yang berwarna kuning kemerah-merahan, benar-benar indah. Kalau saja air sedang tidak pasang dan kami membawa pakaian ganti, rasanya tidak ada alasan lagi yang menahan kami untuk menyeburkan diri kesana. Sambil menikmati suasana laut, kami juga banyak sharing tentang perguruan tinggi ke mereka, rupanya sesi di kelas sebelumnya belum cukup menjawab rasa keingintahuan mereka.

Hari semakin sore, rupanya masih ada 1 tempat lagi yang akan dikunjungi, yaitu batu yang menyerupai bukit. Untuk menuju puncaknya cukup memerlukan perjuangan karena curam, berpasir, dan licin untuk
beberapa alas kaki. Beberapa dari murid ada juga yang baru pertama kali naik keatas sana, sama seperti kami. Dengan beberapa kali terpeleset, tas yang bolongnya semakin besar, dan tali tripod putus akhirnya kami semua sampai diatas.



Dari atas sana semuanya terlihat jauh lebih jelas, rangkaian pegunungan, kelokan jalan Trans Sulawesi, laut yang biru, dan langit yang cerah semuanya dalam sekali tatap. Kami dan mereka senang sekali hari itu dan saling mengabadikan momen. Ada 1 hal yang sangat berkesan bagi kami, yaitu kami untuk pertama kalinya merasakan serunya “Om, telolet, om!”. Setiap ada kendaraan besar yang lewat, kami dan murid-murid SMAN 1 Pamboang serempak berteriak “OM, TELOLET, OM!” dari atas, sekencang-kencangnya. Senang sekali rasanya setiap ada kendaraan yang menjawab dengan telolet nya. Di luar dugaan, Om Telolet Om lebih membahagiakan dari yang diperkirakan. Sore itu kami kembali belajar bahwa ternyata kebahagiaan itu bisa datang dari hal yang paling sederhana sekalipun.



Matahari pun sudah mulai tenggelam, kami bergegas turun dan pulang, karena kalau terlanjur malam kami akan susah penerangan. Terakhir, sebelum berpisah dengan murid-murid SMAN 1 Pamboang, kami berfoto dengan latar belakang senja di jalan Trans Sulawesi. Perpisahan dari pertemuan yang sangat singkat dengan mereka, beberapa diantara mereka bahkan menangis atas perpisahan tersebut. Betapa mulianya orang-orang yang kami temui disini.

Kami pulang dan setibanya di rumah kembali disambut oleh listrik yang padam. Malam itu kami memutuskan untuk menghabiskan malam di sebuah kafe di Majene, mengerjakan beberapa pekerjaan yang tertunda, mengisi ulang semua baterai, dan berdiskusi untuk hari esoknya.

Sekitar pukul 11 malam, kami pulang ke rumah dan segera beristirahat, berdoa untuk kelancaran esok, dan memaknai segala hal yang terjadi sampai hari itu.


11 JANUARI 2017
Kami kembali harus melakukan presentasi di 2 sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Majene, dan SMA Negeri 1 Campalagian. Pagi-pagi setelah sarapan dengan menu nasi panas-lauk seadanya kami pun berangkat ke SMAN 1 Majene masih dengan motor pinjaman. Di SMAN 1 Majene, seperti biasa kami dipecah menjadi 2 tim. Isma dan Mail mendapatkan kelas IPA, sementara Pebi dan Rifki sosialisasi di ruangan yang mayoritasnya adalah IPS.

SMAN 1 Majene ini merupakan salah satu SMA favorit di Majene jadi tidaklah heran baik guru maupun siswa sudah banyak yang aware akan pentingnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pebi dan Rifki agak sedikit kesulitan untuk menyampaikan materi di kelas yang mayoritasnya adalah anak IPS, karena jujur kami tidak begitu paham tentang program studi IPS. Sehingga akhirnya materi yang kami sampaikan lebih umum tentang jalur masuk dan motivasi belajar ke murid-murid.



Sementara Isma dan Mail, mereka membuat kelas lebih interaktif dengan menceritakan pengalaman-pengalaman mahaswa ITB yang dengan segaala perjuangan dan pengorbanannya akhirnya berhassil mewujudkan salah 1 mimpinya. Mail memang paling jago untuk urusan membuat baper seisi kelas, karena kalau kita sudah berhasil membawa emosi mereka biasanya pesan yang disampaikan akan lebih mudah diserap dan dimaknai.

Selesai sosialisasi di SMAN 1 Majene dan mengobrol singkat dengan pihak sekolah, kami melanjutkan perjalanan kami ke SMAN 1 Campalagian yang jaraknya belasan kilo dari tempat kami saat itu. Pada awalnya SMAN 1 Campalagian ini tidak termasuk ke dalam daftar sekolah yang menjadi tujuan kami, namun atas berbagai pertimbangan dan ketidaksengajaan memiliki kontak kepala SMAN 1 Campalagian, kami pun memutuskan untuk kesana.

Hari itu merupakan hari yang paling terik dalam perjalanan kami, walaupun memang tidak seterik biasanya kata penduduk sana. Kami tiba di SMAN 1 Campalagian saat istirahat siang dan kami langsung mengistirahatkan diri di ruang tamu. Biarpun terik namun anginnya sepoy-sepoy dan membuat kami yang cukup kelelahan hari itu sangat ingin tertidur.




Di SMAN 1 Campalagian, murid kelas 12 dikumpulkan di 2 ruangan besar. Di kelas Pebi dan Rifki tidak menggunakan proyektor sehingga kami membuka laptop dan membawakan materi lebih santai seperti sesi sharing-sharing. Seperti biasa barisan depan diisi oleh murid-murid perempuan karena yang membuka presentasi hari itu Rifki. Semuanya benar-benar fokus karena memang Rifki selalu sukses menarik perhatian murid-murid khususnya murid perempuan.

Sementara di kelas Mail dan Isma sepertinya sudah sangat menyukai penyampaian materi tanpa menggunakan slide dan proyektor bahkan sudah lupa untuk presentasi dengan slide.  Saat itu waktu sekolah akan segera berakhir, sehingga penyampaian materi dilakukan sangat singkat dan lebih banyak menceritakan kisah-kisah perjuangan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Kisah-kisah yang sangat mengharukan dan bahkan ketika itu Ismail yang menceritakannya juga ikut menangis, begitupun Isma dan murid-murid yang mendengarkan. Cerita itu membuat mereka bersemangat untuk bertanya. 

Selesai menutup presentasi, kami kembali harus bertemu dengan teriknya matahari. Hari yang sangat melelahkan rasanya. Seteguk air es sepertinya sudah terasa nikmat jika diminum saat itu. Kami pun segera pamit ke pihak sekolah dan janjian bertemu di minimarket dekat rumah. Alhamdulillah akhirnya merasakan segarnya air dingin di hari sepanas itu. Kami membeli sedikit lauk instan dan segera menuju rumah untuk makan siang kemudian beristirahat sebentar.

Mail dan Rifki iseng mencari tempat menarik terdekat yang bisa dikunjungi sore itu sebelum motor pinjaman kami kembalikan dan sebelum kami meninggalkan kota Majene. Ternyata 3 kilo dari rumah kami terdapat pantai yang bernama Pantai Dato Beberapa sumber mengatakan pantai tersebut menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat di Majene. Tanpa pikir panjang, sore itu juga kami menuju kesana.
------sapi 

Dalam perjalanan menuju ke pantai, kami menemukan objek menarik di salah satu sisi jalan, yaitu sapi menyusui. Sambil menunggu Mail dan Isma yang sedang isi bensin, Pebi menghampiri sapi tersebut dan mengabadikan beberapa gambar. Pebi asik sendiri sampai tidak sadar warga disana banyak yang mengelilinginya. Pebi keheranan dan takut telah melakukan hal-hal yang melanggar aturan disana. Dengan wajah yang tidak-tahu menahu kami pun segera pergi dari sana.


  
Kami pun tiba di Pantai Dato Tidak jauh berbeda dengan pantai-pantai yang kami kunjungi sebelumnya. Hanya saja Pantai Dato ini memiliki pemandangan yang luar biasa indah dan bentuk daratannya yang tidak rata.



Kami segera menuju ke bawah dan bermain air sambil menanti senja, merekam dan mengambil sedikit kenang-kenangan disana kemudian bergegas mencari spot untuk menyaksikan matahari yang perlahan menghilang.

Setelah matahari benar-benar tidak terlihat, kami pun kembali ke rumah dan lagi-lagi mati listrik. Pebi dan Isma memutuskan untuk di rumah saja, mempersiapkan keperluan esok hari karena kami harus menuju kota berikutnya, sementara Mail dan Rifki harus mengembalikan motor dan mencarikan lilin untuk di rumah. Cukup lama Mail dan Rifki di jalan, rupanya sangat sulit mencari lilin saat itu karena memang sedang jadwal mati lampu untuk daerah Majene.




Kami pun meletakkan lilin di beberapa ruangan dan menyiapkan makan malam kami yang terakhir untuk di Majene. Beruntung nasi sudah dimasak sebelum kami pergi ke pantai ssore hari, jadi malam tinggal menyiapkan lauk. Sebenarnya tidak banyak juga yang disiapkan karena semuanya lauk instan cepat saji dan cepat santap. Walaupun rumah gelap sekali malam itu, makanan yang kami siapkan selalu nikmat, bahkan lebih nikmat ketika kami tidak bisa melihat wujudnya dengan jelas.

12 Januari 2017
POLEWALI MANDAR



Kami bangun sangat pagi dan harus segera bergegas karena kami harus menuju kota berikutnya yaitu Polewali Mandar. Sekolah pertama yang kami tuju adalah SMA Negeri 1 Wonomulyo, dan untuk menuju kesana akhirnya untuk pertama kalinya kami menggunakan transportasi umum yang bernama Pete-Pete, sebuah moda transportasi umum seperti angkot. Bapak Ramli mencarikan Pete-Pete untuk kami, sehingga kami tidak perlu jalan ke jalan raya. Kami berpamitan dengan pamannya Ratih yang sudah banyak membantu kami selama di Majene, kemudian berangkat menuju kecamatan Wonomulyo, Poliwali Mandar.




Kami diturunkan didepan SMAN 1 Wonomulyo dan masih perlu berjalan kurang lebih 100 meter untuk benar-benar masuk kedalam sekolahnya. Kami membawa carrier masing-masing yang beratnya sudah cukup berkurang, namun tetap saja masih berat. SMAN 1 Wonomulyo ini dikelilingi oleh persawahan dan berada di komplek sekolahan, jadi ada beberapa sekolah yang terdapat disana.

Saat masuk ke lingkungan  sekolah, kami cukup menjadi perhatian karena mungkin terlihat seperti orang pindahan membawa carrier sebesar itu. Setibanya disana kami tidak bisa langsung melakukan presentasi karena kami tiba berbarengan dengan salah satu sekolah tinggi.

Sambil menunggu Mail dan Rifki menyelesaikan administrasi, Pebi dan Isma menunggu diluar ruang guru dan disanalah kami bertemu dengan seorang teman yang tiba-tiba menyapa kami,

“Hai, kalian pecinta alam ya? Sering naik atau ekspedisi?” tanya seorang laki-laki berusia 20tahunan menghampiri kami.
“Eh, bukan kami baru pertama kali” jawab kami yang kemudian menjaadi awal dari percakapan kami dengan seorang pemuda bernama Lengke Kalpataru, salah satu anggota komunitas Pecinta Alam di Polewali Mandar. Kak Lengke meminta kami untuk menyempatkan diri berkunjung ke markasnya di Polewali. Suatu kehormatan bagi kami.

Setelah kurang lebih 1 jam menunggu, akhirnya Mail dan Rifki keluar juga dari ruangan kepala sekolah. Menyampaikan kesepakatan dengan pihak sekolah untuk melakukan presentasi singkat ke kelas-kelas yang jumlahnya cukup banyak. Pengalaman baru bagi kami presentasi seperti ini, tiap kelas diberi waktu 15-20 menit dan kami harus menyampaikan hal yang sama berkali-kali.

Kami sampai hafal apa yang harus disampaikan di tiap kelasnya. Walaupun kadang kami merasa haus dan bosan mengulang penyampaian yang sama, namun respon dari murid-murid disana selalu berhasil membuat kami lupa kalau kami sudah mengatakan hal yang sama berulang ulang.

Kebanyakan murid-murid disana sebenarnya sudah mau untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun terkendala keterbatasan informasi mengenai beasiswa dan pilihan program studi. Banyak yang baru tahu kalau beasiswa ternyata tidak hanya Bidikmisi, dan program studi tidak hanya teknik atau kedokteran.


Sama seperti sekolah-sekolah sebelumnya, Rifki selalu menjadi artis dimana saja. Kelas selalu kondusif saat Rifki yang memulai presentasi dan kembali gaduh ketika Rifki memberikan kontaknya


Sementara Mail dan Isma melakukan presentasi sedikit lebih lama dari Pebi dan Rifki sehingga hanya dapat menjangkau 2 kelas saja, hari itu memang sangat singkat waktu presentasinya karena kami harus berbagi dengan perguruan tinggi swasta yang juga sedang melakukan sosialisai ke sekolah-sekolah. Setelah selesai presentasi beberapa anak mendatangi kamu secara langsung untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak khususnya mengenai jurusan-jurusan. Kami berusaha menjawab sebaik mungkin dengan cepat karena kami harus segera menuju sekolah lain di Polewali Mandar. Saking terburu-burunya ketika berjalan di koridor berjajar pot-pot bunga besar,  Isma tidak sengaja menjatuhkan salah satu  pot tersebut. Banyak muridnya yang mengelili kami dan membantu merapikan, Isma pun meminta maaf dan dan ikut merapikan lalu segera berjalan untuk perjalanan berikutnya.

Kami berpamitan dengan guru dan murid disana, mengencangkan carrier masing-masing dan berjalan ke jalan raya yang dilewati Pete-Pete. Tujuan kami berikutnya adalah SMA Negeri 2 dan SMA Negeri 3 Polewali Mandar yang ditempuh dalam waktu 40-50 menit dari SMA Negeri 1 Wonomulyo. Kedua sekolah tersebut mengizinkan kami untuk kesana di jam yang bersamaan. Kami pun membagi tugas, Mail dan Isma ke SMA 2 Polewali Mandar sementara Pebi dan Rifki ke SMA 3 Polewali Mandar


Di SMA 3 Polewali Mandar atau biasa disingkat Polman, Pebi dan Rifki menyampaikan materi sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing 1 jam-an dan dilakukan berturut-turut tanpa jeda. Materi dipadatkan dan sesi pertanyaan hanya dibuat untuk 2 pertanyaan saja. Disana kami dibantu oleh seorang guru yang sangat luar biasa, ia bukan guru sebenarnya melainkan seorang sarjana muda yang ditugaskan untuk mengajar di sekolah tersebut. Kami banyak berdiskusi tentang masalah pendidikan dengannya dan hasil diskusi kami hari itu adalah kami sepakat kalau program-program seperti Indonesia Mengajar dan Diseminasi Khusus ini harus terus dilanjutkan dan dikembangkan, karena selain memberikan pengalaman berharga bagi orang-orang yang menjalankannya, tidak jarang juga apa yang dibawa dan disampaikan benar-benar bisa mengubah pola pikir dari murid-murid yang menjadi sasaran. Memang dampaknya tidak bisa langsung terlihat karena yang dibawa adalah adalah sebuah pondasi berupa pola pikir, semangat, dan motivasi.


Pic: Cuplikan video Arif Mappe di Youtube

Seperti biasanya kami memutarkan video inspiratif Arif Mappe di akhir presentsi kami, memberi contoh kepada mereka bahwa pendidikan yang layak adalah hak semua orang dan layak untuk diperjuangka. Berbicara soal Arif Mappe, seseorang yang berkali-kali disebutkan dalam catatan ini,  ia adalah 1 dari murid-murid yang bertemu dengan tim Diseminasi Khusus yang membulatkan tekadnya untuk memilih ITB sebagai tempat ia menuntut ilmu selanjutnya. Sekarang kisah hidup dan perjuangannya disaksikan oleh banyak murid-murid di seluruh Sulawesi Barat dan mungkin ceritanya akan banyak menginsirasi teman-teman lainnya.

Ditengah kami memutar video Arif Mappe, Arif menghubungi kami dan mengatakan kalau ia akan menyusul ke sekolah yang kami kunjungi. Sayang sekali ia baru menghubungi ketika kami sudah berada di penutup presentasi di SMA 3  hari itu.

Di SMAN 2 Isma dan Mail memang jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk presentasi dengan slide. Disana, Kepala Sekolah lupa memberi tahu kami bahwa hari itu ada penilaian Adiwiyata, sebuah penghargaan lingkungan hidup untuk sekolah. Kami harus presentasi ke kelas-kelas dan dengan penjelasan singkat tiap kelas dan memang sudah menjadi hal yang biasa bagi Isma dan Mail. Seselesainya di kelas terakhir kami sangat senang telah melalukan perjalanan ini hingga sejauh itu berkilo-kilo meter jauhnya dari Bandung, perjalanan non stop dari Sulawesi Tengah hingga hari itu di Sulawesi Selatan. Lelah, sangat lelah tapi bahkan lelah itu tidak terasa ketika kita berada di depan kelas dan tetap harus semangat di depan mereka, cerita perjalan kami selalu kami ceritakan di kelas agar mereka juga semangat, juga tidak takut untuk mencari kebaikan sejauh yang mereka bisa capai.

SMAN 2 dan SMAN 3 merupakan sekolah terakhir dari rangkaian perjalanan Diseminassi Khusus tim Nosarara Nosabatutu. Kami mengucap syukur bahagia karena misi kami telah selesai, tapi hal tersebut juga berarti perjalanan ini pun akan segera berakhir.

Kami yang selama ini membicarakan Arif di tiap sekolah akhirnya bertemu dengannya di Kota tempat tinggalnya. Arif mengizinkan kami untuk beristirahat dan menginap di rumahnya, untuk menuju kesana kami diantar oleh salah seorang guru SMA Negeri 3 Polman. Saat itu hujan deras, orang--orang sana bilang di Polman sudah lama tidak turun hujan, kebetulan sekali saat kami kesana bersamaan dengan turunnya hujan. Bukan hal yang jarang bagi kami, sesampainya di rumah Arif, lagi-lagi mati listrik.

Kami disambut baik oleh keluarganya Arif di rumahnya. Keluarga kecil ini sangat hangat, tidak heran kalau Arif tentu mendapat banyak dukungan atas cita-citanya yang besar, ayahnya seorang supir angkot dan ibunya membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Di salah satu sis rumahnya dipajang penghargaan-penghargaan yang pernah didapat Arif dan kakaknya. Arif memang sangat berprestasi sejak kecil dan entah ada berapa puluh piala yang berjajar disana. Ayahnya selalu memajang penghargaan dan hasil karya dari anak-anaknya, di rumah itu juga ada beberapa lukisan Arif dan potongan berita koran tentang Arif.

Kami beristirahat, membersihkan diri, dan bercerita cukup banyak dengan ayah dan ibunya Arif. Kami mendiskusikan rencana kami untuk hari besoknya, karena kami masih punya 1 hari kosong sebelum kembali ke kenyataan. Apakah mau menambah sekolah lagi atau mau jalan-jalan di Polman saja, atau mau apa kami masih belum ada rencana.

Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan banyak hal, kami memutuskan untuk menggunakan 1 hari kosong itu untuk kembali menikamti indahnya Sulawesi. Banyak yang bilang rasanya tidak afdhol kalau ke Sulawesi tapi tidak berkunjung ke Tana Toraja. Kami pun sepakat untuk melakukan ekspedisi budaya ke sana.

Pada awalnya kami terkendala transportasi untuk kesana, karena memang sangat jarang ada transportasi yang bisa langsung menuju ke Tana Toraja dari Polman, terlebih lagi saat itu hari sudah malam. Namun tiba-tiba kami ingat dengan seorang Lengke Kalpataru yang sempat menyapa kami saat di SMAN 1 Wonomulyo. Kami menghubunginya dan dia bersedia mencarikan transportasi ke Tana Toraja untuk kami, bahkan ia memberikan alamat di Tana Toraja untuk kami menyimpan barang-barang kami.

Perjalanan ke Tana Toraja saat itu membutuhkan waktu 6-7 jam, menembus malam dan kesunyiannya.

13 JANUARI 2017
TANA TORAJA



Kami pun melakukan ekspedisi budaya di Tana Toraja dari pagi sampai menjelang malam. Kebetulan 2 orang yang mengantar kami berkeliling disana memang sudah biasa membawa orang ke tempat-tempat menarik di Tana Toraja.

Ini merupakan hal yang baru bagi kami, menyaksikan kebudayaan yang masih kental dan salah satu  upacara pemakaman yang selama ini hanya kami saksikan melalui media elektronik.

Kebudayaan dan adat istiadat di Tana Toraja ini hanya 1 dari sekian banyak kebudayaan bangssa Indonesia yang harus dilestarikan dan dilindungi. Saat itu kami sadar bahwa Indonesia dengan kekayaan alam dan budayanya benar-benar hal yang berharga, Betapa makmurnya bangsa ini jika kekayaan itu ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Masalah kesejahteraan dan ketidakmerataan tentu juga akan teratasi.


14 JANUARI 2017
MAKASSAR


Ekspedisi kami benar-benar harus berakhir. Rasa lega, syukur, senang, dan sedih kami rasakan sekaligus. Sebelum benar-benar meninggalkan Sulawesi, kami hanya bisa berdoa semoga apa yang kami bawa selama ekspedisi ini bisa bermanfaat dan berdampak baik bagi murid-murid disana. Ekspedisi ini boleh berakhir, namun hubungan kami dengan murid-murid disana tidak boleh putus begitu saja. Kami berjanji tidak akan langsung lepas tangan, kami akan memfasilitasi informasi bagi mereka, dan terus menjalin komunikasi walaupun hanya bisa via elektronik.

Terakhir,
Terimakasih Tuhan YME dan semua yang terlibat dalam ekspedisi khusus tim Nosarara Nosabatutu atas pengalaman tak terlupakan ini.

Pesawat kami pun berangkat mengantarkan kami kembali ke kehidpan yang harus kami jalani, mengantarkan kami kembali untuk melanjutkansegala mimpi dan cita-cita kami.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 



PENUTUP


Perjalanan ini meninggalkan cerita tersendiri bagi kami yang terlibat di dalamnya..

Perjalanan ini membawa kami melihat, merasakan, dan belajar banyak bagaimana memaknai pengabdian, memaknai ketulusan, memaknai takdir Tuhan, memaknai segala nikmat yang kami dapatkan, dan memaknai hidup untuk terus menebar manfaat.

Perjalanan ini menyadarkan kami bahwa kami, dan teman-teman semua  memegang tanggung jawab sebagai penerus bangsa ini dan tiap-tiap pundak ini sedang memikul amanah untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Untuk teman-teman pelajar dan semua yang membaca cerita perjalanan ini, kami berpesan jangan pernah berhenti berjuang dan belajar, karena ada cita-cita yang harus kamu wujudkan, ada tanggung jawab besar harus kamu laksanakan, dan ada banyak harapan yang digantungkan.

“Bila kamu tidak tahan pahitnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan”

“Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan terjatuh diantara bintang-bintang”

“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”

Semoga cerita perjalanan ini akan disusul dengan cerita-cerita lainnya, semoga cerita perjalanan ini bisa menjadi awal dari lahirnya semangat-semangat pejuang penerus Indonesia nantinya.

Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam catatan perjalanan ini.


Salam Pengabdian,


 Nosarara Nosabatutu